Posted in My Novels

TAKE A PEEK: THE ROMANTICS

15-the-romantics

 

 

THE FIRST COFFEE

 

 

cafe_restaurant_table_interior_design_110567_3840x2400

 

“Give me a cup of delicious coffee. And I’ll be yours only.”

Sinopsis:

Ada yang bilang bahwa sekali kau bertemu takdirmu, dia akan terus-menerus muncul di hadapanmu dalam begitu banyak ketidaksengajaan yang terlihat disengaja.

Pria itu melihat gadis tersebut untuk pertama kalinya di suatu hari di akhir musim penghujan. Gadis yang berdiri di seberang jalan, di bawah naungan payungnya yang transparan, menengadah ke langit seolah sedang menyambut derasnya hujan di pagi yang temaram. Di hari yang sama, pria itu juga menikmati secangkir kopi ternikmat yang pernah dia sesap; kopi pertamanya sebelum menghadapi siang yang melelahkan.

Pertemuan kedua, dan mereka menghabiskan pagi di meja kafe yang sama, di samping jendela, ditemani hujan yang turun rintik-rintik, sedikit berbincang teentang rasa kopi yang tidak lagi sama dengan pagi sebelumnya.

Pertemuan ketiga, dan pria itu jatuh cinta, dalam perjalanan mengantar si gadis pulang demi mendapat payung pinjaman. Terjadi begitu saja. Tanpa dia pernah menyangka.

Lalu, timbul pertanyaan: apakah sang gadis merasakan hal yang sama?

 

Take a Peek:

Gadis itu melangkah ke arahnya, mengembangkan senyumnya yang biasa, lalu mengangguk.

“Hai,” sapanya singkat.

Pria itu merasa jantungnya diremas kuat dan paru-parunya menolak bekerja secara normal. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan kegugupannya, yang secara keseluruhan berakhir sia-sia.

Dalam gerakan lambat, dia mengulurkan tangan, mencoba menemukan pita suaranya.

“Byan.”

Gadis itu menatap uluran tangannya tersebut cukup lama, seolah mengalami pergolakan sendiri, sebelum akhirnya membiarkan tangannya menyentuh telapak tangan pria itu yang terulur, menggenggamnya ringan.

“Dya. Anindya.”

***

EVERY MOMENT OF YOU

 

 

4917286839_cfc4b8037b_b

 

“Let me be there. In your every moment.”

 

Sinopsis:

Di bagian tersudut perpustakaan, seorang gadis menghabiskan sore dengan tidur berbantalkan buku. Dan pemandangan pertama yang dilihatnya saat membuka mata adalah sosok lelaki yang duduk menghadap ke arahnya, dibanjiri sinar matahari senja yang menghalangi sang gadis untuk menatap wajah lelaki tersebut. Tiga sore terlewat dengan kejadian yang persis sama. Dan alih-alih mencari cara untuk mencuri pandang bentuk rupa lelaki itu, sang gadis memilih untuk tetap disilaukan cahaya matahari, demi memiliki alasan untuk tetap datang pada sore berikutnya, melewatkan satu momen senja lagi bersama lelaki misterius tersebut.

Sore keempat berbeda. Lelaki itu menyapanya dan saat itulah dia diberi tahu tentang rahasia yang lelaki itu sembunyikan, sesuatu yang terabadikan dalam lembar-lembar buku sketsanya.

 

Take a Peek:

Aku mencengkeram tali tas ranselku dengan kuat. Kami sudah memasuki ruangan utama yang memiliki penerangan. Berbalik! perintahku kepada diri sendiri. Berbaliklah!

Kemudian, aku sadar. Bahwa jika aku berbalik, aku akan kehilangan alasan untuk kembali ke sini. Untuk merasa penasaran dan berdebar-debar. Jika aku berbalik, jika aku mengenali wajahnya—bahkan meskipun tidak—penantianku akan berakhir. Aku tidak akan lagi menunggu-nunggu sesuatu. Menunggu jarum jam beranjak ke angka lima. Menikmati langkah-langkahku yang bergegas menuju perpustakaan, dan menit-menit yang kuhabiskan dengan harap-harap cemas hingga lelaki itu datang.

Aku tidak berbalik. Aku memilih untuk kembali lagi esok hari.

***

ONCE IN A WEDDING

 

 

reception-catering-tables3

 

“For some people, one meeting can change life.

And one moment stays forever.”

 

Sinopsis:

Sang gadis datang ke Bandung demi menuntaskan pekerjaannya sebagai seorang fotografer pernikahan sekaligus melarikan diri dari musim dingin Florence yang tidak disukainya. Di sana, saat dia terjebak di tengah hidangan untuk para vegetarian, menikmati pai sayuran yang dengan mengejutkan begitu disukai olehnya, seorang karnivora sejati, dia bertemu pria ini. Pria bermata cerulean, yang birunya seakan bisa menenggelamkan seseorang yang terlalu lama menatap ke dalam pesonanya.

Mereka berbincang. Tentang sang pengantin wanita yang ternyata adalah sahabat sekaligus cinta pertama pria itu. Tentang sang gadis yang penggila dessert. Tentang cinta kedua sang pria. Tentang kenyataan bahwa gadis itu belum pernah jatuh cinta. Detail-detail kecil, kisah-kisah ringan yang akan dibicarakan dua orang asing yang kemungkinan besar tidak akan pernah bertemu kembali.

Tapi dunia begitu kecil. Bahkan benua yang berbeda pun tidak mampu menghentikan takdir. Ditambah dengan godaan pai lezat yang bertubi-tubi, pria itu seolah merayu. Dan gadis itu limbung. Tinggal tunggu waktu sebelum dia akhirnya jatuh tersungkur.

Pertanyaannya: kapan?

 

Take a Peek:

Dia mengulurkan tangan, tawaran yang tidak mungkin kutolak karena aku akan mendapatkan kesempatan untuk menyentuh kulitnya, untuk membuktikan bahwa ini semua nyata dan bukan khayalanku semata.

“Raf.”

“From Rafael?”

“From Rafael,” ulangnya.

Dia bangkit berdiri, berjalan memutari meja untuk menghampiriku dan detak jantungku mulai bertalu-talu.

Dia sekepala lebih tinggi daripadaku karena aku mengenakan high heels. Dan kini, aku bisa menghirup aromanya. Mint segar, matahari, dan pengharum pakaian.

Kami berdiri berhadapan. Tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunduk ke arahku, hidungnya bergerak seolah sedang menghidu, matanya tertutup, dan dia tersenyum. Aku tidak bertanya apa yang sedang dia lakukan. Kurasa aku bisa menebaknya, meski aku tidak ingin tahu apakah dugaanku memang benar atau sepenuhnya salah.

“Bye, Raf,” ucapku, kembali membuat waktu berputar di sekitar kami.

Dia membuka mata. “Sampai jumpa,” ujarnya, dengan nada seakan mengoreksi kata-kataku sebelumnya. “Dan, Amelia?”

“Ya?”

“Pai itu saya yang buat.”

***

LE FLASH

 

 

68b83114190ba5a191277f785fb08ce4

 

“It’s a crush. Happens accidentally in a blink. In one throbbing moment. And leaves mark on you permanently.”

 

Sinopsis:

Hal paling bodoh dalam hidup pria itu adalah fakta bahwa dia tidak bisa membaca tulisan tangannya sendiri yang mewujud cacing meliuk-liuk di atas kertas. Kesalahannya yang lain adalah memutuskan untuk tidur setelah menonton Orchard Fashion Runway dan bukannya langsung mengetik artikel yang akan segera naik cetak lusa pagi. Jadi, keesokan harinya, hanya memiliki kurang dari 24 jam untuk menyelesaikan artikel, pria itu duduk di bangku kafe bandara, berusaha menebak-nebak apa gerangan yang telah dia tuliskan di buku catatan sembari menunggu pesawat yang akan membawanya pulang dari Singapura ke Jakarta.

Kemudian dia bertemu gadis Indonesia yang notesnya tertinggal di meja yang pria itu tempati, buku yang dengan semena-mena pria itu baca dan akhirnya membuatnya menemukan jalan keluar dari kesulitan yang dia hadapi: gadis itu juga menonton acara yang sama dengannya!

Tapi bukan itu yang membuat gadis tersebut menarik. Melainkan matanya. Mata hazel-nya yang terus berubah warna di bawah cahaya lampu. Campuran hijau, cokelat, dan amber. Kemudian mereka berbincang dan pria itu harus menghadapi fakta bahwa itu adalah pertama kalinya dia bisa mengobrol lama dengan seorang lawan jenis tanpa merasa bosan dan ingin kabur. Dan dia masih ingin bertemu gadis itu. Lagi. Bukan sekadar pertemuan dua orang asing di bandara yang akan berpisah jalan setelahnya.

Apa yang harus dia lakukan agar gadis itu bersedia diajak kencan?

Take a Peek:

“Karena saya lebih pengin makan siang bareng kamu daripada ketemu editor galak,” aku Ben. “Karena saya nggak pengin kamu kabur dan ngelewatin kesempatan gitu aja buat tahu lebih banyak tentang kamu. Saya nggak tahu nama kamu, saya nggak tahu tempat tinggal kamu, umur kamu, saya masih nggak tahu apa-apa tentang kamu. Dan, karena saya rasa kamu sepadan untuk setiap risikonya.”

“Nama saya Nina.”

“Ouch,” keluh Ben. “Itu penolakan terang-terangan?”

“Saya bakal nunggu kamu di tempat pengambilan barang.”

Senyum Ben merekah. “Oke,” ujarnya.

Untuk sesaat, gadis itu berdiri canggung sambil mencengkeram tali tasnya.

“Saya belum tahu nama kamu,” dia akhirnya berkata.

“Ben. Nama saya Ben.”

“Oke. Ben. Sampai ketemu nanti.” Gadis itu melambaikan tangannya yang memegang tiket pesawat dan berbalik, berjalan beberapa langkah sebelum terhenti karena sekali lagi, Ben memanggilnya.

“Nina?”

Gadis itu menoleh. “Ya?”

Ben memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Mata kamu,” ujarnya. “Saya benar-benar suka mata kamu.”

***

THE PORTRAIT OF YOU

 

 

fotomaniak_101644_500x500_0_0.jpg

 

“I look at you. I look at you and look at you.

And it’s definitely my most favorite view.”

 

Sinopsis:

Gadis itu adalah anak pemilik toko kue, bekerja sebagai kasir, membuka toko pada pukul tujuh pagi, dan menutupnya pada pukul setengah tujuh petang. Pria itu adalah pelanggan yang selalu datang dan pergi pada waktu yang sama: pukul tujuh pagi hingga setengah delapan dan pukul setengah tujuh sore hingga pukul tujuh malam. Pesanannya selalu sama dan tempat duduknya pun tidak pernah berubah.

Gadis itu memotret sang pria diam-diam. Setiap harinya, mereka hanya saling bertukar ucapan terima kasih dan sama-sama, lalu momen-momen sederhana itu berkembang menjadi rutinitas harian yang selalu ditunggu-tunggu gadis itu, momen berharga yang selalu berakhir dengan senyuman di wajahnya, berikut jantung yang berdebar-debar.

Suatu hari pria itu tidak datang. Ada permintaan maaf yang terucap, penjelasan singkat, dan buku catatan yang tertinggal di meja samping jendela. Ada rahasia dalam kata-kata yang tertulis di dalamnya. Rahasia yang tidak pernah gadis itu sangka-sangka.

Take a Peek:

Dia selalu menjadi pelanggan pertama dan terakhir toko kami. Aku akan membuka kafe pada pukul tujuh kurang lima setelah memastikan semua persiapan untuk memulai penjualan telah lengkap dan Fatma berada di dapurnya. Ketika lonceng berdentang, aku akan dengan refeks menegakkan tubuh, mendongak dengan senyuman di wajah, menyambut kehadirannya dengan ramah. Dia dengan baik hati akan membagi senyum tipisnya sekilas sebelum berjalan menuju meja favoritnya di samping jendela. Dan, itu adalah cara memulai hari paling sempurna menurutku. Memandanginya. Mengabadikan gerakannya dengan kamera. Berpisah dengannya, untuk kembali bertemu lagi beberapa jam kemudian.

Aku menyukai rutinitasku yang selalu sama. Menikmati setiap detiknya, terutama pada bagian yang kulewatkan bersamanya. Pada satu jam yang menjadi milik kami berdua.

Karena begitu terbiasa, aku terkadang lupa bahwa … tidak selamanya dunia akan berjalan seperti itu-itu saja.

***

IUGIS

 

 

couple-in-sunset-7da5459f-9877-4d84-bc7b-1fd4451db8f9.jpg

 

Iugis (Latin) (adj): incessant, tidak ada habisnya

 

Sinopsis:

Lapangan terbuka di atap gedung fakultas menjadi saksi pertemuan seorang lelaki penyendiri dan seorang gadis penunggu hujan. Mereka bertemu dan terus bertemu, tanpa pernah menyebutkan nama satu sama lain. Sang lelaki jatuh cinta, dengan berani melamar gadis itu dengan alasan agar dia tidak perlu bersusah payah datang ke atap hanya untuk melihat gadis itu setiap harinya. Dia mengajukan lamaran pernikahan, pada gadis yang baru dikenalnya 30 hari, gadis yang bahkan tidak dia ketahui namanya sama sekali.

Tidak ada yang istimewa pada kisah mereka. Yang tidak biasa hanyalah fakta bahwa lelaki itu hanya perlu menyebutkan satu nama saja saat ditanyai siapa gadis di masa lalu, masa sekarang, dan masa depannya. Kebanyakan orang akan menganggap kisah mereka membosankan. Sedikit sisanya, mungkin—mungkin saja—akan menganggapnya sebagai sesuatu yang romantis, yang mereka damba-dambakan untuk miliki hingga akhir hayat. Jenis cerita ‘bahagia selamanya’, di mana dua orang bertemu, jatuh cinta, menikah, menua, dan menghabiskan hidup bersama, berdua hingga maut memisahkan. Membosankan, sungguh.

Atau mungkin tidak? Bagaimana menurutmu?

Take a Peek:

Sesaat kemudian, aku mendengar bunyi derit pintu lagi, lalu suara langkah-langkah ringannya yang perlahan mendekat, aroma familier apel yang tertinggal saat dia lewat, lalu wajah tanpa celanya yang memenuhi indra penglihatanku kemudian.

Senyumku masih belum hilang dan kali ini dia memandangku, dengan senyum yang sama. Dia memiringkan wajah, menatapku sejenak, lalu mengulurkan tangan.

“Aruna,” ucapnya, memperkenalkan diri.

Aruna, ulangku dalam hati. Aruna, yang kuketahui berarti ‘fajar’ dalam bahasa Sanskerta.

Aku memutuskan bahwa itu adalah nama terindah di dunia.

Aku menyambut uluran tangannya, untuk kali pertama menyentuhnya secara langsung, merasakan tekstur telapak tangannya yang lembut dan jari-jarinya yang terasa rapuh, seolah-olah bisa patah jika aku menggenggamnya terlalu erat.

“Langit.” Aku menyebutkan namaku dengan suara yang terdengar serak. Mungkin faktor cuaca.

Oh, baiklah, mungkin karena aku sedang grogi.

“Jadi …,” perkataannya menggantung di udara, “kita akan menikah?”

***

E-book ‘The Romantics’ bisa diunduh di Google Play atau aplikasi Playstore di ponsel Anda:

Download The Romantics

 

(Harga Rp10.000,00)

8 thoughts on “TAKE A PEEK: THE ROMANTICS

  1. Xixixixixi.

    Liat Take a Peak setelah baca The Romanticsnya biking flashback.

    Suka semuanya, paling suka Once in A Wedding. Terutama ketika mereka ngobrol di acara pernikahan itu. ^^

    Like

Leave a comment