Posted in My Novels

SNEAK PEEK: MISS IRRESISTIBLE STYLIST

IMG-20170331-WA0003

 

CASTS:

 

LEE WON

 

57a9a3173abc3

IM YOON-HEE

 

5nywgyhrusz5nywgyhrusz.jpg

 

LEE EUN-BI

 

1423158667-capture201-o

 

CHAPTER 1

“THIS MAN… I WILL DEFINITELY MARRY HIM ONE DAY.”

September 5, 2016

Yoon-Hee mengintip keluar jendela. Hujan lagi. Kali ini gerimis. Terus seperti itu sepanjang minggu. Kadang lama, kadang hanya berlangsung beberapa menit. Kadang rintik-rintik, kadang sangat deras hingga membuat orang memilih untuk tidak keluar. Memasuki musim gugur, matahari tidak lagi terik seperti biasa. Mendung, redup, basah.

Gadis itu tersenyum senang, bergegas mengenakan sepatu berhak datar miliknya, mengunci pintu, lalu mengeluarkan payung lipat dari dalam tas. Payung kuning favoritnya. Dan, hujan… pada musim gugur yang juga dia favoritkan.

Dia melangkah riang menuruni tangga, nyaris melompat-lompat kalau saja dia tidak ingat lantai yang licin dan kemungkinan dia akan terpeleset kalau tidak berhati-hati. Hujan selalu berhasil membuat semangatnya melompat naik ke level tertinggi. Udara yang wangi, langit yang mendung, suasana yang sendu. Di telinganya yang tertutup earphone, terdengar suara Lim Kim yang merdu menyenandungkan lagu berjudul Rain, membuatnya ingin ikut meloncat dan berputar-putar seperti penyanyi itu di dalam music video yang sudah dia tonton berkali-kali. Hujan, hujan, hujan, betapa menyenangkan….

***

Kim Rye-On, salah seorang aktor ternama Korea, akhirnya mengangkat wajah dari ponselnya setelah mengirimkan pesan pada kekasihnya, Ahn Su-Yeon. Dia melirik cermin untuk melihat hasil kerja penata rambutnya dan saat itu jugalah dia tersentak mundur, nyaris terjengkang bersama kursi yang dia duduki kalau saja dia tidak dengan sigap berpegangan pada pinggiran meja rias.

Ada bayangan mengerikan di cermin. Berwujud—dia menguatkan diri untuk menatap sekali lagi—seorang gadis yang dia yakini sebagai penata busananya, Im Yoon-Hee, yang sekarang menyengir begitu lebar, menampakkan deretan gigi-gigi kecilnya yang rapi. Yang seharusnya membuatnya tampak cantik, tapi kenyataannya tidak. Senyum itu tampak mengancam, terutama karena rambut itu. Demi Tuhan, rambut itu!

Rye-On mengucapkan syukur dalam hati karena gadis itu hanya mengurusi pakaiannya, bukan rambutnya. Dia tidak bisa membayangkan—

Pintu ruang ganti menjeblak terbuka dan Key, manajernya, masuk sambil menyumpah-nyumpah, mengusapkan tisu ke kaus putihnya yang kini ternoda cairan cokelat yang sepertinya berasal dari kopi.

“Lihat ini! Gara-gara kau! Aku tidak bawa baju ganti!” Pria itu bersungut-sungut, memandang Yoon-Hee dengan pelototan penuh dendam. “Kupikir aku sudah imun setelah kau buat terkejut berkali-kali. Kenyataannya tidak. Besok apa lagi? Kau mau datang dengan kepala botak?”

“Apakah itu mungkin?” Yoon-Hee mengusap rambut panjangnya dengan penuh sayang. “Cocok tidak ya?”

“Jangan coba-coba!” Rye-On tidak bisa menahan diri untuk menyampaikan pendapat. Membayangkan pemandangan horor seorang gadis botak di dekatnya tidak urung membuat tubuhnya bergidik ngeri.

Pria itu memutar tubuh untuk menatap gadis itu langsung dan kembali menunduk. Gerakan yang salah. Pandangan langsung ternyata lebih mengerikan.

“Astaga, mataku!” desisnya, dan Key, yang tadinya sibuk mengomel, kini tertawa terbahak-bahak melihat artis asuhannya yang tampak tersiksa.

Im Yoon-Hee—penata gayanya beberapa bulan terakhir—muncul dengan rambut barunya, yang biasanya selalu berganti gaya atau warna tiap awal minggu. Rye-On melupakan hal ini dan sama sekali tidak mempersiapkan diri, meski kejutan kali ini benar-benar membuat dirinya nyaris terkena serangan jantung. Dan, jelas bukan dia saja yang beranggapan seperti itu. Lihat saja noda besar di baju manajernya.

Dia masih ingat saat pertama kali bertemu Yoon-Hee yang direkomendasikan oleh kekasihnya. Yoon-Hee adalah sahabat Su-Yeon sejak SMA dan sedang memulai karier di bidang fashion. Dan karena penata gaya Rye-On kebetulan baru mengundurkan diri untuk menikah dan fokus menjadi ibu rumah tangga, Rye-On menyambut tawaran itu. Dia nyaris menarik ucapannya saat Yoon-Hee muncul dengan rambut berwarna campuran pink dan ungu yang super menyolok. Kalau saja dia tidak ingat hubungan gadis itu dengan Su-Yeon….

Rye-On sudah melihat puluhan warna dan gaya rambut yang berbeda dari Yoon-Hee. Dan, meski kecenderungan gadis itu untuk bereksperimen dengan rambutnya amat mengkhawatirkan, tapi dia memiliki selera fashion yang bagus dan sesuai dengan apa yang Rye-On inginkan, jadi selama ini dia hanya bisa mengelus dada diam-diam. Tapi penampilan gadis itu hari ini… ya Tuhan.

Minggu ini, Yoon-Hee memutuskan mengecat rambutnya dengan warna putih. Bukan pirang—yang sedikit masih lumayan, tapi putih. Berikut alis putih, lipstik putih, dress putih, dan sepatu putih. Juga tas berwarna putih—meski sepertinya gadis itu masih tetap mempertahankan payung kuning favoritnya, yang kini terkembang di sudut ruangan, meneteskan sisa air hujan ke lantai.

“Yoon-Hee~ya,” keluhnya.

“Ya, Oppa?”

Rye-On berjengit. “Jangan memanggilku dengan nada seperti itu!”

Gadis tersebut kembali menyengir lebar, jelas sengaja melakukannya.

Rye-On mengarahkan tatapannya beberapa senti di sisi kiri kepala Yoon-Hee, berusaha tidak menatap langsung ke arah gadis itu. Dia tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali.

“Apa kau berencana mempertahankan rambutmu selama seminggu ke depan?”

“Tentu saja,” Yoon-Hee menjawab manis, terkikik-kikik dalam hati sembari memuji ketangguhannya untuk tampil seperti ini di depan umum demi membuat orang-orang di sekitarnya tersiksa. Hujan membuat sisi jailnya bangkit—oh tidak, tunggu dulu, dia tidak boleh menimpakan kesalahan pada hujan yang tanpa dosa.

“Kau… kau boleh libur selama seminggu ke depan!” seru Rye-On cepat-cepat dan Key refleks ikut mengangguk semangat, menatap penuh terima kasih kepada pria itu yang telah menghindarkan mereka dari reaksi syok berulang. Sama sekali tidak baik untuk kesehatan jantung jika harus melihat gadis berambut putih bergentayangan di sekitar mereka seperti hantu. Mengerikan!

“Lalu, bagaimana dengan pakaianmu? Acaramu kan penuh sekali untuk minggu ini,” Yoon-Hee berargumen, meski sebenarnya hatinya sedang bersorak girang.

“Aku… aku bisa menyuruh orang untuk menjemputnya ke kantormu.” Rye-On mengangguk, menyukai gagasan yang baru terlontar dari mulutnya itu. “Kau sudah bekerja tanpa libur dua minggu terakhir dan selalu pulang larut malam. Aku tidak ingin kau sakit dan membuat Su-Yeon mengira aku memperlakukan sahabatnya dengan semena-mena. Kau bisa beristirahat seminggu. Dengan gaji penuh.”

YES, YES, YES! Yoon-Hee mengepalkan jari, berharap ekspresi senangnya tidak terpancar keluar.

“Ja—jadi…,” Rye-On berdeham, “apa kau akan memberitahuku rencanamu untuk minggu depan? Warna apa kira-kira?” Rye-On menunjuk kepalanya sendiri. “Rambutmu,” tambahnya.

“Karena ini musim gugur—”

Rye-On dan Key menyukai kalimat pembukaan itu. Musim gugur, eh? Cokelat? Astaga, itu bisa menjadi anugerah besar! Terakhir kali Yoon-Hee berambut cokelat, dia mengeriting kecil-kecil rambutnya. Rambut tersebut mengembang dan membuat kepalanya tampak luar biasa besar sehingga semua orang mengira dia bisa jatuh kapan saja karena tidak sanggup menanggung beban rambutnya. Tapi sungguh, itu masih jauh lebih lumayan daripada… putih.

“—jadi aku berencana mengecat rambutku dengan perpaduan warna musim gugur. Cokelat, merah, kuning, oranye. Pasti akan—”

“DUA MINGGU!” teriak Key, melirik Rye-On yang bergegas mengangguk khidmat tanpa protes. “Kau… boleh libur dua minggu.”

“Yang benar? Aku tidak mau hanya makan gaji buta—”

Membayangkan seorang gadis berambut empat-warna akan mengikutinya ke mana-mana di depan publik jelas lebih mengerikan daripada kehilangan jutaan won. Jadi, Rye-On berkata, “Tidak apa-apa. Nikmati liburanmu. Mungkin kau bisa mulai mendesain bajumu sendiri seperti yang ingin kau lakukan selama ini.”

“Jelas itulah yang akan kulakukan,” sahut Yoon-Hee ceria.

Dan, meski Rye-On sendiri tahu dirinya dimanfaatkan dalam situasi ini, dia bahkan sama sekali tidak keberatan. Apa pun, asalkan gadis ini jauh-jauh darinya untuk sementara.

Pintu kembali membuka dan mereka semua menoleh. Cha-Eun, penata rambut Rye-On, masuk sambil meniup-niup gelas plastik berisi kopinya, tidak tahu apa yang menunggunya di depan. Rye-On dan Key saling melemparkan tatapan prihatin, memalingkan wajah ketika, satu detik kemudian, gadis itu mendongak, menjatuhkan kopinya sebagai reaksi pertama, lalu berteriak keras dengan suara histeris.

“AAAAAARGH!”

Reaksi ketiganya adalah: “KUBUNUH KAU, IM YOON-HEE!”

***

Yoon-Hee memutar kursi yang didudukinya dengan tangan terkembang. Senyum lebar terulas di bibirnya, sebelum berubah menjadi tawa keras yang bernada puas.

Sungguh, saat memutuskan untuk berganti karier menjadi seorang penata busana, dia tidak pernah membayangkan bahwa klien pertamanya adalah seorang aktor terkenal yang harus diikutinya ke mana-mana setiap hari, nyaris 18 jam kalau jadwal Rye-On sedang sangat padat. Awalnya, dia berpikir bahwa dia bisa meninggalkan pakaian-pakaian yang telah dia pilihkan, tapi ternyata tanggung jawab seorang penata busana pribadi termasuk memastikan bahwa pakaian-pakaian tersebut dikenakan dengan benar, dipadupadankan dengan aksesori yang tepat, sepatu yang tepat, ikat pinggang yang tepat, dan cocok dengan gaya rambut yang ditata sang hairstylist. Dia harus memastikan bahwa warna yang dia pilih sesuai dengan tema acara, apakah lengan kemeja harus digulung, sebanyak apa kancing yang harus dibuka, apakah harus dimasukkan ke dalam celana atau tidak.

Dia tahu ada banyak gadis di luar sana yang begitu iri pada profesi yang dia jalani. Bisa meraba tubuh pria setampan Rye-On dan terus berdekatan sepanjang hari, bukankah itu impian semua penggemar? Tapi apa gunanya jika pria itu adalah kekasih sahabatmu sendiri? Rye-On menjadi sama sekali tidak menarik baginya. Padahal, dia penggila para pria tampan. Sayangnya, terbatas pada pria-pria yang belum memiliki pemilik. Rye-On jelas tidak masuk hitungan.

Yoon-Hee baru memulai pekerjaan ini sekitar delapan bulan yang lalu. Setelah berhenti di tengah perjalanan kariernya menjadi dokter, dia memutuskan mengejar impiannya yang sebenarnya sebagai seorang desainer pakaian. Kebetulan sekali, seorang kenalannya dari klub dansa kampus menawarinya pekerjaan sebagai penata gaya, yang bisa menjadi batu loncatan baginya sebelum menjadi desainer yang sesungguhnya. Namun, sebagai akibat dari keputusan ekstremnya itu, dia harus keluar dari rumah, hidup mandiri tanpa bantuan orangtua, dan merasakan siksaan dunia yang sebenarnya. Tapi menjadi dokter bukan lagi sebuah pilihan dan dia bersedia kehilangan apa saja asal tidak perlu kembali pada kehidupan mengerikan penuh trauma itu lagi.

Bekerja di ETHEREAL adalah impian semua orang yang ingin berkarier di bidang fashion di Korea. ETHEREAL adalah brand besar yang namanya sudah dianggap setara dengan Prada atau Chanel di dunia internasional. Perusahaan ini tidak hanya fokus pada pakaian, tapi sudah merambah ke brand sepatu, aksesori, dan parfum. Gedung kantor utama terletak di daerah Gangnam, pusat kehidupan menengah atas di Seoul. Terdiri dari sepuluh lantai, di mana lantai terbawah diisi oleh puluhan butik yang memajang produk dari tim-tim desain ETHEREAL untuk pakaian ready to wear. Yoon-Hee sendiri bekerja di lantai sembilan, tempat tim-tim elite—yang mengurus pakaian untuk orang-orang ternama, dari idol, aktor, penyanyi, model, atlet, hingga presiden—bernaung. Timnya dikepalai oleh Jae-Yeong, penyelamat yang telah menawarkan pekerjaan luar biasa ini padanya.

Pintu ruangan membuka dan Yoon-Hee kembali memutar kursi untuk melihat siapa yang datang. Seruan kagetlah yang terdengar setelahnya.

YA!” Jae-Yeong berteriak marah, mengelus-elus dada sambil menarik napas dalam-dalam. “Ya Tuhan,” gumamnya. “Aku sudah heran kenapa semua orang memperingatkanku agar berhati-hati, tapi tidak mau memberitahuku alasannya. Ternyata gara-gara kau!” Dengan nada menggerutu, wanita itu melangkah melintasi ruangan dan melanjutkan, “Apa yang kau lakukan di sini siang-siang begini? Rye-On akhirnya memecatmu? Aku sudah bertanya-tanya seberapa lama dia bisa tahan menghadapi sifat ajaibmu itu.”

“Dia hanya meliburkanku selama dua minggu dengan gaji penuh.” Yoon-Hee tersenyum manis seraya mengibaskan rambut, tertawa melihat seniornya yang kini mendesis ngeri.

Jae-Yeong menggantungkan jas-jas yang dibawanya ke rak dorong yang masih kosong dan berkata, “Kebetulan sekali. Aku sedang butuh bala bantuan. Si Perawan Tua membuat ulah lagi.”

Perawan Tua adalah sebutan Jae-Yeong untuk seorang blogger fashion bernama Kim Jae-Ah, yang memiliki hobi mengikuti pengusaha-pengusaha muda dan mengomentari gaya berpakaian mereka. Semua artikelnya bernada celaan dan sayangnya menjadi favorit para pembaca wanita. Imbasnya, image para pengusaha muda yang seharusnya menjadi wajah perusahaan tercoreng, terutama mereka yang memiliki bisnis di bidang fashion. Sangat buruk untuk promosi dan pemasaran produk.

“Dia mengganggu CEO kita?” Yoon-Hee dengan polos bertanya, yang dihadiahkan pelototan oleh Jae-Yeong.

“Aku kan sudah bilang, meski kau tidak suka, kau harus membaca majalah atau artikel di internet, Im Yoon-Hee.”

Yoon-Hee memilih untuk tidak menanggapi. Meski aneh, tapi dia memang tidak membaca majalah, menonton televisi, ataupun berselancar di internet. Tujuannya adalah agar otak dan ide-idenya tidak terpengaruh gaya orang lain.

“Kukutip langsung dari tulisannya: CEO ETHEREAL mungkin saja memiliki wajah paling tampan di negara ini, sayangnya itu tidak diikuti dengan selera berpakaian yang sesuai. Adakah orang yang pernah melihatnya memakai sesuatu selain kemeja putih? Penulis jelas tidak. Meski putih membuatnya bercahaya, tapi sudah menjadi kewajiban seorang pemilik perusahaan fashion untuk menjajal segala warna dan tidak pilih kasih. Bagaimana para pembeli bisa memercayakan pakaian mereka kepada ETHEREAL jika bahkan CEO-nya sendiri cenderung tidak peduli pada apa yang dia kenakan? Aku ingin sekali memotong jari-jarinya yang telah mengetikkan kata-kata kurang ajar itu.” Jae-Yeong menutup rentetan kalimatnya dengan nada mencela.

“Kudengar dia tidak pernah memuji, tapi dia malah mengatakan bahwa CEO kita memiliki wajah paling tampan di negara ini? Dan, apa tadi? Putih membuatnya bercahaya?”

Jae-Yeong menggantungkan jas terakhir—berwarna biru langit, menghampiri Yoon-Hee, dan menyandarkan tubuh ke meja gadis itu.

“Dia, sepertinya, jatuh cinta setengah mati pada CEO kita. Yang bisa menjadi jawaban kenapa ada banyak pujian di dalam artikelnya alih-alih ejekan seperti biasa. Wanita berumur 39 tahun itu… berani-beraninya mengincar pria seperti Lee Won Taepyeonim! Aku bahkan mengira dia itu penyuka sesama jenis karena dia tampak begitu membenci semua pria.”

“Apa CEO kita sememesona itu hingga bisa membuat orang seperti Kim Jae-Ah bertekuk lutut?”

Jae-Yeong memutuskan untuk tidak berkomentar saat mendengar bahwa Yoon-Hee masih belum juga mencari tahu wajah sang pemilik perusahaan setelah bekerja selama delapan bulan di kantor ini.

“Kau tahu bahwa aku sudah bertemu begitu banyak pria terkenal dari industri hiburan, bukan?” Dia memulai dengan sabar.

Yoon-Hee mengangguk, teringat pada puluhan foto yang terpajang di dinding ruangan Jae-Yeong—potretnya bersama pria-pria tampan dan terkenal yang semakin menguatkan tekad Yoon-Hee untuk menjadi desainer sukses.

“Mereka tidak ada apa-apanya,” Jae-Yeong mengklaim. “Seandainya saja aku belum menikah…,” desahnya muram.

“Setampan itu?”

“Kau belum tahu definisi tampan kalau belum melihat dia. Tapi yah… hanya sedikit sekali orang yang bisa melihatnya secara langsung. Dia jarang turun dari lantai sepuluh keramat itu dan tidak sembarang orang juga bisa naik ke sana. Makanya aku heran bagaimana bisa Perawan Tua itu mendapatkan foto-fotonya secara eksklusif. Dia benar-benar stalker sejati. Yang menjadi alasan kenapa aku masih betah mengunjungi blog-nya.”

Eonni…,” Yoon-Hee berkata dengan nada hati-hati, “kau tidak jatuh cinta pada CEO kita, ‘kan?”

“Hanya kau satu-satunya wanita di gedung ini yang tidak jatuh cinta padanya, tahu tidak?!” Jae-Yeong merengut. “Dan, karena kau kebetulan sedang menganggur dan aku merasa kasihan padamu karena belum melihat wujud makhluk terindah di dunia ini, aku akan memberimu pekerjaan yang paling membuat iri di seluruh dunia.”

Yoon-Hee menanti, tidak berani mengajukan pertanyaan. Jae-Yeong sedang begitu bersemangat hingga Yoon-Hee curiga akan ada kembang api yang meledak keluar dari tubuhnya.

“Aku tadi menghubungi lantai sepuluh setelah membaca artikel laknat itu. Aku berbicara dengan sekretarisnya dan mendapat persetujuan bahwa aku dipersilakan menyediakan pakaian kantor sehari-hari CEO kita! Bukankah itu hebat? Astaga, aku nyaris pingsan saat Miss Lee mengiyakan. Itu nama sekretarisnya, omong-omong.”

Kekhawatiran Yoon-Hee bertambah sekarang. Senyum atasannya itu begitu lebar hingga bisa saja mulutnya robek tiba-tiba. Jae-Yeong bahkan tidak tersenyum selebar itu di hari pernikahannya.

“Tapi karena aku sangat sibuk, aku membutuhkan tenaga pengantar.” Mendadak, mulutnya mengerucut kesal, sangat kontras dengan eskpresi yang dia tampilkan beberapa detik lalu. “Dan, karena kau sekarang sedang menganggur, aku memutuskan untuk memanfaatkan tenagamu.”

Impian Yoon-Hee untuk mendesain pakaian sendiri seperti yang dia rencanakan sebelumnya langsung menguap seketika. Perintah Jae-Yeong adalah titah. Penolakan bukan sesuatu yang bisa diutarakan begitu saja.

Yoon-Hee bukannya belum pernah mendesain. Ada lima buku desain di rumah yang telah dipenuhi gambar-gambar hasil goresan pensilnya. Dia hanya belum mendapat kesempatan untuk mewujudkan mereka menjadi nyata.

“Apa yang harus kulakukan?”

“Mengantarkan baju ke rumahnya setiap beberapa hari sekali.” Yoon-Hee tidak berkomentar, jadi Jae-Yeong melanjutkan, “Aku akan menyediakan pakaian kantor dari koleksi pribadiku atau mendesain yang baru. Kau boleh membantu mencarikan baju santai untuk pergi keluar atau dipakai harian di rumah. Standar pakaian pria kita sesuai dengan ukurannya, jadi tidak akan sulit mencari yang cocok. Dia tidak suka warna yang mencolok dan pola-pola aneh. Kurasa dia selama ini terus-menerus memakai pakaian putih karena dia merasa itu adalah warna paling aman. Kita hanya perlu memperkenalkan warna lain padanya.”

“Bagaimana dengan aksesori?”

“Arloji. Dia selalu mengenakan arloji. Kau bisa memilih dari ruang koleksi. Dan, satu lagi, jangan sampai ketahuan yang lain. Kau bisa ke rumahnya sepulang jam kantor, jadi kau bisa menghabiskan waktumu di sini untuk mendesain.” Jae-Yeong tersenyum. “Aku tahu kau ingin melakukan itu.”

Dengan penuh rasa terima kasih, Yoon-Hee melompat dan mendekap wanita itu erat-erat. “Sunbae!” serunya.

Jae-Yeong membiarkan euforia itu selama beberapa detik sebelum mendorong paksa tubuh Yoon-Hee menjauh darinya. Gadis satu itu memang sangat impulsif dalam mengeskpresikan perasaan.

“Ingat, kau harus merahasiakan ini dari yang lain atau mereka akan—”

“Merahasiakan apa?”

Tahu-tahu saja, Red sudah berada di antara mereka. Dia adalah satu dari lima anggota tim Jae-Yeong. Nama asli gadis itu adalah Ppal-Gan, yang memang berarti merah. Dan, Red memang selalu muncul dengan pakaian berwarna merah, tanpa absen satu hari pun. Yoon-Hee tidak bisa membayangkan pemandangan lemari pakaian gadis itu. Melihat merah terus-menerus bisa menyakitkan mata, menurutnya.

“Jae-Yeong Eonni menyuruh Yoon-Hee mengantarkan pakaian ke rumah Lee Won Taepyeonim.”

Mereka bertiga serentak berjengit kaget saat Min, perempuan mungil setinggi 140 sentimeter, keluar dari kolong mejanya, yang menjawab pertanyaan kenapa Yoon-Hee dan Jae-Yeong tidak menyadari keberadaannya sedari tadi. Min memang bisa begitu tenang dan tidak terdeteksi jika dia mau dan gadis itu memanfaatkannya untuk menguping sebagai bahan gosip, kegiatan favoritnya di dunia. Min tahu rahasia semua orang dan selalu membaginya di saat-saat yang tidak terduga. Kebanyakan orang menjauhinya, tapi semua anggota tim mereka tahu bahwa Min sangat loyal dan tidak pernah membuka mulut tentang rahasia mereka kepada siapa pun. Meski tetap saja rahasia itu tersebar di dalam kelompok mereka.

“MIIIN!” teriak Jae-Yeong sebal.

“APAAA?!!” Red berteriak tidak kalah kerasnya. “Lee Won Taepyeonim? Eonni, berani-beraninya kau pilih kasih! Kau seharusnya memberi pekerjaan itu padaku!”

“Kau kan sudah punya klien,” elak Jae-Yeong.

“Aku akan mencampakkan Park Bo-Gum demi Lee Won Taepyeonim! Astaga, aku bahkan akan mencampakkan suamiku demi dia.”

“Kau kan belum menikah,” Yoon-Hee menimpali.

“Hanya analogi untuk menunjukkan apa yang rela kubuang demi Lee Won Taepyeonim, Im Yoon-Hee!” sungutnya gemas.

“Kau salah satu penggemar juga?”

“Aku penggemar nomor satunya!” klaim Red bangga.

“Jangan mengaku yang tidak-tidak, Red,” dengus Jae-Yeong. “Aku tidak akan membiarkanmu mendekati CEO kita dalam radius kurang dari seratus meter. Aku tidak yakin kau bisa menahan diri. Bisa-bisa kau menyerang dan menggerayanginya.”

“Astaga, tentu saja itu yang akan aku lakukan jika mendapat kesempatan masuk ke rumahnya dan bertemu dengannya langsung!” sergah Red tidak tahu malu.

“Ya Tuhan, seberapa tampannya sih dia?” sela Yoon-Hee penasaran.

Eonni, kau yakin Yoon-Hee akan bersikap normal jika dia sampai bertemu dengan Lee Won Taepyeonim nanti? Aku bisa mendeteksi kegilaan dari dalam dirinya. Na-Ri bahkan harus mengusirnya karena dia tidak bisa berhenti meneteskan liur saat melihat Ji Chang-Wook mampir untuk mengepas pakaian minggu kemarin.”

Yoon-Hee menyengir tanpa dosa. Dia memang suka berkunjung ke ruangan tim-tim lain karena tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan kau temui di tempat seperti ini.

“Dia kelihatan normal-normal saja saat bersama Rye-On.”

Red mengerutkan hidung. “Tentu saja. Itu karena Rye-On adalah kekasih sahabatnya. Kalau tidak, Rye-On pasti sudah dilahapnya sekarang.”

Yoon-Hee tergelak, mengangguk-angguk kencang sebagai persetujuan.

“Dan level Lee Won Taepyeonim lebih tinggi daripada pria-pria itu. Bisa-bisa dia berlutut sambil menangis menyembah-nyembah.”

“Kalian sedang membicarakan apa?” June muncul dari kamar mandi sambil menenteng tas berisi peralatan pelurus rambutnya. Gadis itu aslinya memiliki rambut keriting bandel yang menyebabkannya harus bangun sejak pukul empat pagi demi membuat rambutnya itu lurus berkilau dan terus ke kamar mandi setiap tiga jam sekali untuk mengecek kondisi rambutnya selama di kantor. Dia sangat menentang kegiatan lembur karena dia lebih memilih pulang ke rumah sore hari selagi rambutnya masih dalam tampilan beradab—rambut June, entah untuk alasan apa, menolak bekerja sama jika langit sudah gelap, sekeras apa pun dia berusaha kembali meluruskannya. Membayangkan dirinya menaiki transportasi umum dengan rambut yang mulai mengeriting begitu mengerikan untuk ditanggung jantungnya, jadi dia harus melakukan pencegahan sebisanya.

“Jae-Yeong Eonni menyuruh Yoon-Hee mengantarkan pakaian ke rumah Lee Won Taepyeonim.” Min dengan senang hati mengulangi perkataannya.

June melempar tasnya sembarangan dan bergegas menghampiri Jae-Yeong, meraih kedua tangan wanita itu dan menangkupnya di antara tangannya sendiri.

“Aku akan mengenyahkan Lee Jong-Suk. Berikan Lee Won Taepyeonim padaku!”

Yoon-Hee berdeham keras sembari mengibas-ngibaskan tangan.

“Maaf, kalian semua, tapi Lee Won Taepyeonim, seperti apa pun wujudnya, kini adalah tanggung jawabku. Jadi, kalianlah yang seharusnya enyah.” Dia menutup ucapannya dengan tawa membahana penuh rasa puas.

June, untuk pertama kalinya, mengalihkan tatapan pada Yoon-Hee dan refleks meraih Red yang berada di sampingnya untuk berpegangan. Red sendiri adalah satu-satunya orang yang tahan menghadapi keajaiban penampilan Yoon-Hee—mungkin karena dia sendiri juga memiliki penampilan yang sama ajaibnya. Sedangkan Min? Rasa syok yang luar biasalah yang membuatnya terjungkal ke kolong meja ketika tanpa sengaja, setelah memungut pensilnya yang terjatuh ke lantai, mengarahkan tatapan ke pintu dan menyaksikan Yoon-Hee melangkah masuk sambil melompat-lompat girang lima belas menit lalu.

“Jangan biarkan dia bertemu Lee Won Taepyeonim dengan penampilan seperti itu!” teriak June kencang setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya.

“Biarkan saja,” ucap Red. “Bukannya lebih baik kalau dia tidak tampak menarik?”

June berpikir sebentar, lalu mengangguk. “Kurasa begitu. Tapi memangnya kau pikir selera Lee Won Taepyeonim separah itu? Tidak mungkin dia menyukai rakyat jelata.”

“Aku bisa mendengar ucapan kalian, tahu!” sungut Yoon-Hee.

“Baguslah. Aku harus mendatangi dokter jantung kalau kau berencana berpenampilan gila seperti ini lebih lama lagi,” cela June.

“Aku yakin dia akan berpenampilan normal sebentar lagi. Yang berarti Lee Won Taepyeonim berhasil membuatnya bertekuk lutut,” ujar Red sambil mengusap-usap dagu.

“Setuju!” Min menukas, akhirnya beristirahat dari kebungkamannya.

“Bagaimana kalau tidak?” Yoon-Hee mencibir.

“Kami akan mentraktirmu makan siang sebulan penuh.”

“Kau ingat selera makanku, ‘kan?”

“Tentu. Jadi, kau harus sadar bahwa kau akan kalah taruhan. Karena kami begitu percaya diri dan yakin pada pesona Lee Won Taepyeonim. Tidak ada wanita yang bisa imun dari ketampanannya.”

“Ada,” sanggah Min. “Miss Lee.”

“Tentu saja. Dia kan sudah 50 tahun. Lee Won Taepyeonim lebih cocok jadi anaknya. Karena itu kan Lee Won Taepyeonim bersedia menerimanya jadi sekretaris,” dengus Red.

“Sudah, sudah!” lerai Jae-Yeong. “Berhenti menggosip! Memangnya kalian tidak ada pekerjaan lain?”

Mereka membubarkan diri dan Yoon-Hee kembali memutar kursi menghadap meja kerjanya yang nyaris kosong karena dia bisa dibilang jarang menghabiskan waktu di tempat ini. Dia satu-satunya dari mereka berlima yang sampai sekarang belum menciptakan satu pakaian pun, karena itu dia sibuk ke sana kemari mencarikan pakaian untuk Rye-On, sementara semua temannya menghabiskan waktu mendesain pakaian untuk klien mereka masing-masing.

Yoon-Hee menggoyang-goyangkan pensil dengan kepala bersandar ke kursi. Memangnya sememukau apa pria bernama Lee Won itu?

Dia melirik ponselnya, menimbang-nimbang, lalu mengurungkan niat untuk mengetikkan nama pria itu di mesin pencari internet. Dia memilih untuk mengejutkan dirinya sendiri saat bertemu dengan pria itu nanti.

***

September 8, 2016

Dua hari berikutnya berlangsung tenang. Pagi harinya, Yoon-Hee akan menyambut kedatangan orang suruhan Rye-On dan menyerahkan pakaian-pakaian untuk pria itu sambil menerangkan cara pakai dan detail aksesori pendamping. Kemudian, dia menghabiskan sepanjang siang untuk mendesain ataupun mengitari ruang koleksi, mencari baju yang sekiranya cocok untuk Rye-On maupun klien barunya, Lee Won. Dia seharusnya menemui pria itu terlebih dahulu untuk melihat selera berpakaian pria tersebut, meski dia bisa menebak bahwa Lee Won adalah jenis pengusaha kaku yang menganggap meluangkan lebih dari satu menit untuk memilih pakaian sebagai pekerjaan yang sia-sia dan membuang waktu. Dan, yang lebih buruk lagi, pria itu tidak mengenal warna lain kecuali putih dan hitam.

Hari ini Kamis dan Jae-Yeong sudah memperlihatkan dua setelan yang harus Yoon-Hee antarkan ke rumah Lee Won sore harinya.

“Yang ini tidak kelihatan formal sama sekali,” komentarnya, menunjuk kemeja biru navy dengan dua saku di bagian dada.

“Aku berencana menyesuaikan dengan seluruh kegiatannya. Hari Senin tidak ada pertemuan dengan klien. Kegiatannya hanya memeriksa butik-butik di lantai bawah, jadi menurutku tidak masalah jika dia tampil sedikit lebih santai.”

Eonni,” mata Yoon-Hee menyipit curiga, “kau tidak meminta jadwalnya untuk kepentingan pribadimu, ‘kan?”

Jae-Yeong menyengir. “Sekalian saja kan tidak masalah. Hari Senin aku bisa melihatnya langsung. Akhirnya….” Wanita itu mendesah dengan kedua tangan terkatup di depan mulut.

Yoon-Hee mendelik. Sepertinya Jae-Young lagi-lagi lupa bahwa dia telah memiliki suami dan calon bayi di dalam kandungan.

“Menurutmu, kalau aku meminta Lee Won Taepyeonim untuk mengelus perutku, dia akan keberatan? Mungkin ketampanannya akan menurun pada anakku.”

“Kau saja tidak tahu jenis kelamin anakmu.”

“Tidak masalah. Kerupawanan wajahnya juga bisa ditularkan pada anak perempuanku. Gen suamiku lebih baik tidak usah ikut campur dalam pembentukan rupa anak kami.”

“Seharusnya kau tidak menikahinya sedari awal.”

Dengan enteng, Jae-Yeong menjawab, “Masalahnya, hanya dia satu-satunya pria yang cukup gila untuk bersedia menikahiku dan mendengarku memuja-muja pria lain setiap hari.”

“Dasar gila,” gumam Yoon-Hee.

YA! Aku bisa mendengarmu, Im Yoon-Hee!”

***

Rumah itu terdiri dari dua lantai, dengan desain modern yang tampak sangat anggun dan elegan. Didominasi varian warna cokelat, rumah itu bahkan sudah membuatnya jatuh cinta sebelum dia menginjakkan kaki di dalamnya, dengan ribuan kerikil putih yang disusun rapi membentuk jalan setapak dari pagar hingga pintu, juga halaman depan yang sangat hijau dan rindang oleh pepohonan dan rumpun semak yang terpotong rapi. Arsitektur rumah pria tersebut begitu mengagumkan, jadi kenapa selera berpakaiannya tidak berada dalam level yang sama? Yoon-Hee menggelengkan kepala tak habis pikir.

Gadis itu menaiki beberapa anak tangga menuju pintu depan yang terletak di bagian samping kiri rumah dan kembali berdecak kagum karena dinding-dinding yang seharusnya menyediakan privasi bagi penghuni, digantikan keberadaan jendela-jendela tinggi yang membebaskan siapa pun melihat isi rumah tanpa penghalang. Sangat bertolak belakang dengan kepribadian introvert sang pemilik.

Dia mendorong penutup kotak yang menyembunyikan papan ketik untuk memasukkan kode pin dan mulai menekan enam angka yang sudah dihafalnya di luar kepala. Jae-Yeong mengonfirmasi bahwa pada jam seperti ini, rumah dalam keadaan kosong karena sang pemilik biasanya baru pulang sekitar pukul enam sore, satu jam dari sekarang. Yoon-Hee curiga bahwa CEO mereka ingin agar dia menyelesaikan pekerjaannya sebelum pria itu pulang agar pria itu tidak perlu bertemu dan beramah tamah dengannya. Sedikit banyak, Yoon-Hee sudah bisa menebak-nebak kepribadian pria itu. Antisosial, itu sudah pasti.

Awalnya, Yoon-Hee bermaksud untuk menuntaskan tugasnya secepat mungkin agar dia bisa segera pulang dan menikmati berendam dalam bathtub berisi air hangat. Hujan turun seharian dan masih gerimis saat dia sampai di rumah ini. Bajunya sedikit basah dan dia ingin sekali berganti pakaian—seharusnya dia berjaga-jaga dengan membawa baju ganti, karena seringnya dia tidak tahan untuk sedikit ‘bercengkerama’ dengan hujan yang sangat dia sukai. Lalu, baru saja melangkah masuk, dia mendapati bahwa keseluruhan bagian belakang rumh itu ditutupi kaca, memperlihatkan pemandangan luar biasa menakjubkan dari halaman belakang. Kolam, rerumputan, dan jembatan kayu yang cantik. Langit tampak begitu luas dari tempatnya berdiri, meski sedikit mendung dan gelap karena hujan dan senja yang hampir tiba. Jadi, dia tidak akan langsung pulang sepertinya.

Dia memutuskan untuk mengecek closet pria itu terlebih dulu. Jae-Yeong mendapat informasi dari Miss Lee bahwa Lee Won memiliki ruang ganti terpisah di kamarnya, yang kembali membuat Yoon-Hee bertanya-tanya akan kegunaan ruangan itu, mengingat pria itu terus memakai kemeja sejenis setiap harinya.

Yoon-Hee naik ke lantai dua, membuka pintu di sebelah kanan tangga, dan masuk ke kamar paling kosong yang pernah dilihatnya. Hanya ada satu ranjang king size, nakas tempat meletakkan lampu tidur, dan TV, serta tirai putih tipis jika boleh masuk hitungan, ditarik ke sisi kiri jendela besar yang mengonfirmasi keindahan pemandangan yang ingin segera dinikmati Yoon-Hee setelah menyusun pakaian yang dibawanya. Terlalu cantik, hingga gadis itu terduduk di sisi ranjang, tidak bisa mengalihkan pandang. Jika ini yang bisa dilihatnya setiap hari, mungkin dia akan memutuskan tinggal di rumah saja, mendapatkan semua inspirasi hebat, dan menjadi sangat produktif. Uang benar-benar bisa membuatmu mendapatkan yang terbaik. Mendadak dia merasa begitu iri pada Lee Won. Atau mungkin pada istri pria itu di masa depan.

Baru sepuluh menit kemudian dia berhasil menyeret tubuh ke sisi lain ruangan. Pintu closet berdampingan dengan pintu menuju kamar mandi dan ruangan itu cukup besar. Keempat sisinya ditutupi rak yang menampung barang-barang berbeda. Rak di kiri berisi tumpukan kaus, sweter, dan celana yang terlipat rapi—hanya terdiri dari dua warna: hitam dan putih. Rak yang berhadapan dengan pintu disesaki kemeja dan jas-jas yang digantung berderet, nyaris membuat Yoon-Hee stroke, karena semua kemeja itu berwarna putih, dan jas-jas itu berwarna hitam. Dia sendiri penyuka putih, tapi tidak seekstrem ini. Pria itu pasti mengidap suatu penyakit mengerikan. Mungkin dia fobia terhadap warna. Ada apa dengan putih sebenarnya?

Rak sebelah kanan menyimpan koleksi sepatu; semuanya berwarna hitam. Sedangkan rak yang sebaris dengan pintu berupa laci-laci dengan kaca—seperti etalase, memajang kumpulan dasi dan arloji.

Yoon-Hee meraba kemeja-kemeja itu, menahan diri untuk tidak merenggut semuanya turun dari gantungan dan menggantikannya dengan kemeja-kemeja berwarna yang akan menyejukkan mata. Bahkan, saat dia akhirnya menggantungkan kemeja-kemeja yang dibawanya, terasa ada yang tidak tepat, seolah dia sedang melakukan dosa besar. Seolah warna putih itu menjadi tercemar. Bisa-bisa dia ikut-ikutan gila sepulangnya dari tempat ini!

Yoon-Hee bergidik, ingin sesegera mungkin keluar dari ruangan itu. Dia harus kembali ke sini secepatnya dan mengenyahkan, setidaknya, setengah dari koleksi kemeja putih yang pria itu miliki. Ada kemeja hitam, biru, abu-abu, dan masih banyak lagi pilihan warna lain yang normal. Ada apa dengan CEO mereka itu sebenarnya?

Yoon-Hee menutup pintu, kembali bernapas normal, dan membiarkan dirinya bergidik sekali lagi sebelum turun ke lantai bawah. Saatnya berkeliling! Dia bisa melegakan perasaannya, menyegarkan otak, dan menghirup udara segar demi menenangkan diri. Gerimis sudah berhenti, jadi dia bisa mengitari seluruh tempat ini dengan leluasa.

Gadis itu melirik jam di pergelangan tangannya. Masih setengah jam lagi sebelum sang pemilik pulang. Dia bisa bersantai setidaknya lima belas menit sebelum menghilangkan jejak keberadaannya. Ide yang sangat genius, kalau saja seseorang tidak tiba-tiba muncul dan merusak rencananya.

“Kau siapa?”

Dia tidak melihat keberadaan bocah itu hingga suara lantangnya yang jernih terdengar.

Umurnya tidak mungkin lebih dari lima atau enam tahun. Mengenakan dress biru bermotif bunga-bunga besar bergaya vintage, kaus kaki berenda, sepatu abu-abu, dan rambut ikal yang dibiarkan tergerai, anak perempuan itu tampak luar biasa cantik dan menawan, seperti maneken mungil sempurna yang diciptakan untuk dikagumi semua orang.

Yoon-Hee mengerjap. Seingatnya, tidak ada yang membahas bahwa Lee Won sudah menikah dan punya anak. Tapi ini adalah rumah Lee Won dan jika pria itu memang setampan yang diributkan semua orang, besar kemungkinan bocah ini adalah anaknya.

“Apa kau anak… ng… Lee Won Taepyeonim?”

Anak itu menatapnya curiga, sikap tubuhnya tampak siaga, meski kepalanya akhirnya mengangguk sebagai jawaban. Di mata Yoon-Hee, semua itu tampak begitu menggemaskan, mengingatkannya pada anak perempuan dengan rambut dikucir dua dan bola mata besar dalam film Monster Inc. Dan misinya saat ini adalah mencubit kedua belah pipi gembul tersebut hingga bocah itu menangis.

“Kenapa kau menatapku begitu?” Anak itu bertanya dengan mata menyipit.

“Menatapmu seperti apa?”

“Seolah akan melakukan hal buruk padaku. Apa kau akan menculikku?” Nada suara bocah itu anehnya terdengar separuh berharap.

“Kenapa? Kau ingin aku menculikmu?”

“Kalau itu bisa membuat ayahku panik dan lebih perhatian sedikit padaku, kau boleh melakukannya.”

Anak yang kesepian rupanya.

“Sayangnya, rencanaku tidak sespektakuler itu. Aku hanya ingin mencubiti pipimu sampai kau menangis.”

Anak perempuan itu menatap Yoon-Hee lurus-lurus, mungkin sedang memutuskan apakah dirinya dapat dipercaya atau tidak. Lalu, tanpa berkata apa-apa, anak itu berbalik, kembali duduk di kursi meja makan dan melanjutkan meminum jusnya, langsung dari kotak besar yang tampak berembun—pasti baru dikeluarkan dari kulkas.

“Apa ini semacam pemberontakan?” tanya Yoon-Hee ingin tahu, mengikuti anak itu dan menarik salah satu kursi untuk diduduki.

“Meminum dengan gelas merepotkan karena harus dicuci.”

Yoon-Hee mengerutkan kening. Pembawaan anak itu begitu tenang dan dia terlihat… dewasa. Dia bahkan bisa memahami maksud pertanyaan Yoon-Hee tanpa kebingungan.

“Sudah tidak curiga padaku?”

“Kau pasti karyawan ayahku yang bertugas mengantarkan pakaian. Dia memberitahuku tadi pagi.”

“Kalian dekat?” Tadi anak itu bersikap seolah ayahnya tidak perhatian, tapi sepertinya komunikasi mereka cukup lancar.

“Ayahku sempurna kalau saja dia tidak terlalu banyak bekerja.”

“Kau sendirian?” Apa dia terlalu banyak menginterogasi? Dia hanya ingin tahu. Ibu anak ini tidak tampak di mana pun. Orangtua macam apa yang berani meninggalkan anaknya di rumah sebesar ini sendirian?

Eonni yang menjagaku harus pulang lebih awal karena ada urusan. Dia langsung pergi setelah mengantarku. Lagi pula, sebentar lagi Appa[11] pulang.”

“Siapa namamu?”

“Lee Eun-Bi.”

“Bi? Aku suka sekali hujan!”

Anak itu melompat turun dari kursi sambil membawa kotak jusnya, mengembalikannya ke dalam kulkas, lalu berbalik menatap Yoon-Hee.

Appa membencinya. Eomma meninggal saat turun hujan.”

Ah… jadi Lee Won seorang duda? Pantas saja.

Ajumma, umurmu berapa? Kenapa rambutmu sudah ubanan semua?”

Yoon-Hee, yang tidak siap dengan pertanyaan yang dilontarkan begitu tiba-tiba itu, hanya bisa menganga syok.

M-mwo? Aj—ajumma? AJUMMA? YA!”

***

“Orang dewasa macam apa yang merajuk dan bisa disogok dengan setoples cookies?”

Yoon-Hee tidak mengacuhkan ucapan Eun-Bi. Tangannya terus bergerak meraih cookies dari dalam stoples, memasukkannya ke mulut, dan mengunyahnya penuh semangat. Cookies bertabur chocolate chips itu luar biasa enak. Dalam hitungan menit, sudah tidak terhitung berapa potong yang telah masuk ke dalam sistem pencernaannya.

“Ini beli di mana? Aku tidak tahu ada cookies seenak ini.”

Dagu Eun-Bi terangkat dan mendadak anak itu tampak angkuh, siap untuk menyombongkan diri. “Itu buatan Appa. Cookies terenak sedunia. Kau tidak bisa membelinya di mana pun.”

Taepyeonim? Kau yakin?” Saking kagetnya, Yoon-Hee batal memasukkan potongan berikutnya ke dalam mulut.

“Bagaimana Appa di kantor?” tanya Eun-Bi ingin tahu. Kedua tangannya menopang dagu dan tanpa bisa ditahan, Yoon-Hee kembali mengagumi kecantikan anak itu. Gen macam apa yang telah menciptakan wujud seindah ini?

“Antisosial,” Yoon-Hee menjawab cepat. “Dia tidak pernah terlihat di mana pun.”

“Tentu saja. Jika kalian melihatnya terlalu sering, tidak baik untuk kesehatan jantung. Appa-ku itu tampan sekali, kau tahu? Dia pria tertampan di dunia,” klaim Eun-Bi bangga.

“Kau kan anaknya,” cemooh Yoon-Hee, kembali sibuk mengunyah. Hanya tertinggal lima potong cookies lagi dalam stoples bening itu, tapi sepertinya Eun-Bi tidak keberatan jika dia menghabiskan semuanya. Yang bisa berarti bahwa ayah anak itu cukup sering membuatkan kue ini untuknya. Fakta yang membuat Yoon-Hee kebingungan setengah mati. Begitu kontradiktif dengan semua hal yang telah diketahuinya sejauh ini tentang sang CEO.

Eun-Bi mendecak keras. “Tunggu saja sampai kau melihatnya!” Bibirnya mencebik. “Omong-omong, Ajumma, kau tidak pulang? Sebentar lagi ayahku sampai. Dan hari ini khusus untuk kami berdua. Kau bertemu dengannya besok-besok saja.”

“Ada apa dengan hari ini? Ah!” Yoon-Hee berseru, mengacungkan telunjuk ke arah anak itu untuk memberi ultimatum. “Berhenti memanggilku Ajumma!”

“Aku kan sudah membiarkanmu menghabiskan kueku.”

Yoon-Hee mengerjap, tidak bisa membela diri. Kemampuan anak ini berdebat boleh juga. Apa ayahnya sama berbakatnya?

“Besok adalah ulang tahun ayahku. Tapi besok aku harus ikut karyawisata sekolah. Jadi, sampai tengah malam nanti, aku akan menghabiskan waktu bersamanya sebagai pengganti ketidakhadiranku besok. Aku bahkan sudah beli kue.”

Yoon-Hee menggigit biskuit terakhir, meletakkan stoples yang sudah kosong ke atas meja, lalu bangkit berdiri. “Baiklah, baiklah,” ujarnya. “Aku pulang sekarang. Puas?”

Gadis itu meraih tasnya, lalu merentangkan tangan. “Sekarang, peluk aku dulu.”

“Kenapa aku harus memelukmu?” tanya Eun-Bi curiga.

“Karena aku batal mencubiti pipimu.”

“Aku tidak pernah dipeluk siapa pun selain ayahku.”

Yoon-Hee mengerutkan kening. “Kakek dan nenekmu?”

“Sudah meninggal.”

Gadis itu menggigit bibir, melengkungkan jari-jarinya karena merasa sangat gemas, dan tanpa izin menarik Eun-Bi ke dalam pelukannya, mendekapnya erat-erat hingga anak itu protes karena sulit bernapas.

“Kau wangi sekali,” Yoon-Hee menggumam, sedikit merenggangkan pelukan, mengayun tubuh Eun-Bi pelan tanpa disadarinya. Refleksnya setelah sekian kali melakukan hal ini sejak bekerja di rumah sakit dulu sebagai intern. Dia ingin menjadi dokter anak kaarena bergaul dengan anak-anak adalah hal yang paling disukainya selain mendesain pakaian. Mereka begitu nyaman untuk dipeluk, dengan aroma manis yang khas. Mereka selalu menyapanya, tetap riang meski tengah didera penyakit berat. Merekalah alasannya bertahan. Pada awalnya.

“Apa dipeluk seorang ibu rasanya seperti ini?”

Suara pelan itu mencapai telinganya dan dia spontan mengurai pelukan. Mata cokelat besar itu menatapnya ingin tahu dan dia mendadak menjadi sentimental. Tenggorokannya tercekat saat akhirnya dia berkata, “Apa kau suka dipeluk olehku?”

Boneka kecil itu mengangguk lugu.

“Kalau begitu, rasanya memang seperti itu.”

Dia setengah berbohong. Dia bahkan tidak pernah merasakannya. Hanya menebak-nebak. Itu cerita kelam lain dalam hidupnya.

Ajumma, apa kau akan datang lagi ke sini?”

“Tuntutan pekerjaan. Aku akan sering sekali datang ke sini.” Yoon-Hee membentuk raut lucu dengan wajahnya, menunjukkan bahwa dia hanya bercanda.

Ajumma, bagaimana ya?” Eun-Bi tampak ragu sesaat, kemudian melanjutkan, “Meski kau menyebalkan, tapi sepertinya aku menyukaimu.”

Tidak tahan, Yoon-Hee akhirnya mencubit kedua belah pipi gembul itu, tertawa saat melihat bekas cubitannya meninggalkan jejak merah, diikuti erangan sebal dari mulut sang pemilik.

“Mau ikut pulang denganku tidak? Aku akan merawatmu sepenuh hati.”

Eun-Bi menyilangkan kedua lengan di depan dada, mencebikkan bibir dengan lagak seperti orang dewasa. “Maaf, tapi aku jauh lebih mencintai Appa daripada Ajumma ubanan sepertimu.”

YA!”

***

September 9, 2016

“Bagaimana? Apa kau sudah bertemu dengannya?” Itulah sapaan dari June keesokan harinya saat dia melongokkan kepala di pintu.

“Sepertinya belum. Rambutnya masih putih,” komentar Red.

“Kenapa tidak ada yang memberitahuku bahwa dia sudah punya anak?”

Semua orang sontak berdiri, bahkan Jae-Yeong, yang matanya kini membelalak lebar. “Kau bertemu dengan anaknya?!”

Red dan June bergegas menghampirinya, tapi Min-lah yang lebih dulu berhasil mencapainya dengan semangat seorang tukang gosip yang bersiap mendengar berita terpanas abad ini. “Belum pernah ada yang melihat wujud anak itu. Apakah dia indah?”

Indah? Pemilihan kata Min benar-benar aneh. Tapi indah memang sangat mewakilkan wujud Eun-Bi, jadi dia mengangguk. “Sangat indah,” dia memberi konfirmasi. “Dia luar biasa cantik hingga aku lupa bernapas.”

“Dan kau belum melihat ayahnya?”

Yoon-Hee menggeleng.

“Kalau anaknya saja membuatmu lupa bernapas, apa yang akan terjadi kalau kau melihat ayahnya?” Red menggelengkan kepala prihatin.

“Jadi, dia seorang duda?”

“Yang membuatnya semakin seksi saja. Seorang pria yang memiliki anak. Ada pesona tersendiri dari pria-pria seperti itu.” June mendesah.

“Kapan istrinya meninggal?”

“Lima tahun lalu. Satu bulan setelah Eun-Bi lahir.” Giliran Jae-Yeong yang menjawab.

“Istrinya menyetir. Kecelakaan. Entah bagaimana, pokoknya Taepyeonim berhasil mengejar mobilnya dan menyelamatkan Eun-Bi sebelum mobil meledak.”

Jae-Yeong membenarkan penjelasan Min. “Anehnya, Taepyeonim langsung masuk kerja dua hari setelahnya. Bibinya yang merawat Eun-Bi kecil.”

“Gosipnya, mereka menikah bukan karena saling cinta,” sambung Min. “Semacam pernikahan bisnis. Hal biasa yang terjadi di kalangan pengusaha. Tapi sejak istrinya meninggal, Taepyeonim diketahui tidak pernah berhubungan lagi dengan keluarga istrinya.”

“Tidak heran. Aku tidak bisa membayangkan seseorang seperti CEO kita itu jatuh cinta. Dia hanya bergaul dengan sekretaris dan asistennya saja dan menganggap manusia lain tidak ada. Mungkin karena dia menganggap tidak ada yang selevel dengan dirinya,” Red berkata. “Keren sekali ya. Sangat eksklusif.”

Yoon-Hee mengernyit melihat tatapan mendamba yang gadis itu perlihatkan. Selain dia, selera Red memang terkenal sama absurdnya.

“Mungkin karena dia menikah di usia terlalu muda. Dua puluh empat tahun. Memiliki anak di usia 25, dan kehilangan istri di usia yang sama. Sudah pasti itu akan membuatnya menjadi pribadi yang sangat tertutup,” duga June.

“Apa istrinya cantik?” tanya Yoon-Hee. Dia masih penasaran dengan penyatuan dua gen yang menghasilkan Eun-Bi.

“Dia model terkenal. Mungkin kau pernah dengar. Judy Kim. Heboh sekali saat dia meninggal.”

Tentu saja Yoon-Hee pernah dengar. Semua media memberitakannya. Dari pernikahannya yang tiba-tiba di usia muda, anaknya yang lahir enam bulan kemudian, hingga kematiannya yang mengejutkan. Wanita itu luar biasa cantik dan terkenal akan keanggunannya.

“Dia model ETHEREAL, bukan?”

“Ya. Tapi saat itu Lee Won Taepyeonim belum bekerja di sini. Dia tinggal di Paris dan mereka bertemu saat Judy melakukan pemotretan di sana. Setiap kali diwawancara, Judy selalu berkata bahwa dia jatuh cinta pada pandangan pertama dan dialah pihak yang lebih dulu mengejar karena Lee Won Taepyeonim sangat pasif.”

Mau tidak mau Yoon-Hee kagum pada luasnya jangkauan gosip yang dimiliki Min.

“Seharusnya kau mengambil foto anaknya. Aku tidak bisa membayangkan hasil dari bersatunya kedua gen luar biasa itu,” desah June.

“Jadi, Lee Won Taepyeonim tidak mencintai istrinya, tapi memiliki anak darinya?” Yoon-Hee mencibir.

“Judy itu cantik sekali. Mana ada pria yang bisa tahan. Lagi pula, pria adalah jenis makhluk yang bisa bercinta tanpa melibatkan perasaan.” Di ujung kalimatnya, Red mendengus. “Meski aku mau-mau saja tidak dicintai asalkan bisa hidup memandangi Lee Won Taepyeonim setiap hari.”

Yoon-Hee menjulurkan lidah, berlagak muntah. Gadis itu kemudian mengeluarkan barang-barangnya dari dalam tas, menyadari ada sesuatu yang hilang, lalu berteriak keras.

“Kau kenapa lagi?” seru Red jengkel.

“Payung kuning kesayanganku tidak ada!” jeritnya panik. “Aku yakin tidak mengeluarkannya dari dalam tas.” Keningnya berkerut dalam, pertanda dia sedang mencoba mengingat-ingat. “Kemarin hujan. Dan… oh, sial!” Dia membelalak. “Sepertinya aku meninggalkannya di rumah Lee Won Taepyeonim.” Sambil meringis, gadis itu bersandar lemas di kursinya.

“Dia akan kehilangan energinya tanpa payung itu,” celoteh Min, mengedip pada Jae-Yeong yang memutar bola mata sebagai tanggapan.

“Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa kau begitu mencintai payung kuning norak itu.”

“Dia telah menjadi saksi kehidupanku selama 15 tahun. Dia satu-satunya yang tidak pernah meninggalkanku. Dia menemaniku di kala hujan, panas—”

“Sudah, sudah!” sela Jae-Yeong. “Pergi sana! Jemput payungmu! Sebelum aku mendengar pernyataan cintamu terhadap benda mati itu lebih lama lagi.”

“Siap!” Yoon-Hee langsung melompat berdiri, menyampirkan tali tas ke bahu setelah memasukkan kembali barang-barang yang tadi dikeluarkannya. “Aku akan sekalian singgah ke ruang koleksi dan mencarikan pakaian tambahan untuk Lee Won Taepyeonim.” Dengan cengiran lebar di wajah, dia menambahkan, “Aku benar-benar mencintaimu, Jae-Yeong Eonni! Kau benar-benar penyelamat hidup!”

Setelah mengucapkan itu, Yoon-Hee berlari pergi, meninggalkan empat orang yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

“Kuharap, dia bisa mencari satu pria dan menjadikannya sasaran untuk menyatakan cinta. Aku sudah muak menerima limpahan cintanya selama delapan bulan terakhir,” keluh Jae-Yeong, diikuti anggukan tiga orang lainnya.

***

Dia pasti meninggalkannya di atas meja kecil di dekat ruang tamu. Dan memang itulah tempat pertama yang dihampiri Yoon-Hee setelah melangkahkan kaki masuk ke rumah atasannya itu.

Ketemu! Payung kuning itu tergeletak di sana, tampak kesepian. Yoon-Hee benar-benar menyesal telah melupakannya dan tidak memeriksa isi tasnya lagi sebelum pulang kemarin.

Setelah memastikan payung itu sudah aman di dalam tasnya, gadis itu beranjak ke lantai dua untuk meletakkan tiga potong pakaian yang dibawanya. Saat membuka pintu kamar yang dituju, dia mendapati ruang tidur itu gelap gulita. Dengan bantuan cahaya dari pintu yang dia biarkan terbuka, gadis itu menyusurkan tangan ke dinding untuk mencari sakelar lampu, tapi tidak berhasil menemukannya. Akhirnya, dia berjalan hingga ke ujung ruangan, menggapai tirai, lalu menariknya ke satu sisi. Dalam waktu singkat, ruangan itu langsung dibanjiri sinar matahari.

Yoon-Hee berbalik, nyaris memekik saat mendapati keberadaan seseorang di atas ranjang. Seorang pria. Tertidur. Dengan wajah yang menghadap ke arahnya.

Dampak pertama langsung menghantamnya telak. Pakaian dalam pelukannya terjatuh, disusul tubuhnya sendiri karena dia tidak berhasil menemukan penopang untuk berpegangan. Terduduk syok di lantai, gadis itu meraba dadanya, mengusapnya perlahan, berharap jantungnya baik-baik saja. Gedoran keras organ itulah yang terasa olehnya kemudian.

Pipinya menghangat dan dia berusaha keras untuk kembali bernapas normal. Pemandangan di depannya terlalu mengejutkan untuk ditanggung anggota tubuhnya. Tanpa peringatan, tanpa persiapan, begitu tiba-tiba. Tidak ada satu pun pernyataan anggota timnya yang berlebihan saat menggambarkan wujud pria itu, karena sekarang dia mengonfirmasinya. Matanya sedang memandangi keindahan itu dan dampak wajah tersebut memang terlampau dahsyat hingga kepalanya, untuk sesaat, terasa berputar.

Keseluruhan wajah itu sempurna. Rambut berantakannya yang jatuh menutupi kening, alis tebalnya yang menukik di bagian ujung, hidungnya yang tinggi dan sangat mancung, kulit wajahnya yang mulus tanpa cacat, dan bibir tipisnya yang berlekuk. Yoon-Hee memang tidak bisa melihat mata pria itu yang kini terkatup rapat, tapi dia bisa menduga-duga apa yang bisa disebabkan oleh mata itu saat menatap seseorang. Dan, rahangnya… rahang pria itu tampak begitu tegas terutama jika ditatap dari samping seperti yang dilakukannya sekarang.

Dia terus mengagumi pemandangan itu dan waktu terus berjalan. Mungkin dia sudah duduk di sana selama bermenit-menit sebelum akhirnya menyadari detail lain dari wajah tidak masuk akal itu. Ada bulir-bulir keringat di kening pria itu, napasnya yang sedikit memburu, dan keningnya yang berkerut. Tidurnya tidak tampak tenang, meski pria itu juga tidak bergerak-gerak gelisah.

Yoon-Hee memaksakan diri untuk bangkit, terhuyung sesaat, lalu berjalan mendekat. Dan itu membutuhkan kerja keras dari jantungnya, tentu saja.

Dia berdiri tepat di samping ranjang, perlahan mengulurkan tangan. Gerakannya sangat lambat karena dia juga sedang mempersiapkan diri akan dampak dari menyentuh pria itu secara langsung. Dia berani bersumpah bahwa dia tidak sedang bersikap berlebihan. Jae-Yeong benar. Dia belum memahami definisi tampan hingga akhirnya dia melihat pria ini.

Ujung-ujung jarinya menyibak rambut pria itu, menyentuh keningnya, dan langsung menarik tangan menjauh. Suhu tubuh pria itu sangat panas hingga tahap mengkhawatirkan. Bahkan dari dekat, dia menyadari bahwa kaus putih yang pria itu kenakan telah basah oleh keringat.

Yoon-Hee langsung bergerak cepat. Pertama-tama, dia memungut salah satu sweter rajut tipis yang dibawanya dari lantai, duduk di sisi ranjang, dan mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat pria itu duduk. Pria yang dalam keadaan tidak sadar itu sepenuhnya menyandarkan tubuh padanya. Dalam posisi berpelukan, tubuh pria itu terasa hangat, meski kemungkinan besar itu akibat demam yang dideritanya.

Dalam gumaman tidak jelas, Yoon-Hee merapalkan doa agar dia diberi kekuatan dan mulai berkutat untuk melepaskan kaus basah tersebut dari tubuh pria itu. Butuh lima menit penuh untuk melakukannya dan dia mulai kehabisan napas hingga membiarkan tubuh pria itu terjatuh lagi ke kasur. Kesalahan besar, karena sekarang dia harus menghadapi lekuk sempurna otot-otot perut dan lengan pria di hadapannya dan itu, sungguh, godaan yang tidak tanggung-tanggung untuk dihadapi gadis polos yang memiliki pengalaman nol besar dengan makhluk berlawanan jenis sepertinya.

Yang benar saja! Apa pria ini bahkan bisa lebih sempurna lagi?

Tanpa bisa ditahan, air matanya mulai menetes jatuh. Kenapa dia harus mengalami ini semua sekaligus? Dia tidak bisa melewatkan satu detik pun tanpa mengagumi fisik pria itu. Ditambah dengan sifatnya yang emosional, lengkaplah sudah siksaannya. Benar-benar menyebalkan!

Setelah mengusap matanya dengan kasar, dia menghabiskan sepuluh menit berikutnya untuk memakaikan sweter baru ke tubuh pria itu. Bahkan dengan tubuh berkeringat pun, aroma pria itu benar-benar enak. Bersih. Jelas bukan berasal dari cologne dan semacamnya. Dan, mengetahui bahwa dalam kondisi ini dia bisa melakukan apa pun kepada pria tersebut, semakin menyempurnakan rasa frustrasinya.

Tidak boleh, dia memperingatkan diri sendiri.

Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Setiap inci tubuh pria itu benar-benar meneriakkan godaan.

Berhasil menuntaskan pekerjaannya—sekaligus melawan bisikan-bisikan penuh rayu yang memenuhi kepalanya, Yoon-Hee turun ke lantai bawah untuk mengacak-acak dapur. Setelah menemukan semua bahan yang dia butuhkan, gadis itu kemudian membuat bubur, satu-satunya masakan yang bisa dia ciptakan tanpa harus menimbulkan bencana. Sembari menunggu hidangan itu matang, dia mengambil baskom dan mengisinya dengan air hangat, menemukan waslap di lemari penyimpanan dekat mesin cuci, dan menyempatkan diri terpesona pada tumpukan berbagai macam obat dalam jumlah mencengangkan di rak dekat ruang keluarga. Pria itu sepertinya jenis yang memastikan segala hal tersedia untuk berjaga-jaga seandainya terjadi situasi seperti ini. Terutama karena dia memiliki seorang anak yang masih kecil.

Membawa semua barang itu ke lantai atas, Yoon-Hee melakukan pekerjaan selanjutnya. Dia mengompres kepala pria itu, lalu memaksanya bangun sebentar untuk dicekoki dengan obat. Pria itu bahkan tidak membuka mata, hanya membuka mulut sedikit dan menelan sesuai perintah, lalu kembali tertidur.

Yoon-Hee kembali ke lantai bawah untuk memeriksa buburnya, menunggu beberapa menit hingga bubur tersebut matang, memindahkannya ke mangkuk porselen, meletakkannya ke baki bersama secangkir air, kemudian membawanya ke atas. Dia meninggalkan baki itu di atas nakas, lalu mengeluarkan post-it dari dalam tasnya. Pesan macam apa yang tidak terdengar norak?

Merasa tidak terlalu yakin, gadis itu akhirnya hanya menuliskan dua kata: happy birthday, menempelkan lembar post-it ke gelas, dan bersiap pergi. Sayangnya, tanpa sengaja dia melirik pria itu lagi dan untuk kesekian kalinya, terpaku di tempat.

Apakah ada orang yang bisa terbiasa dengan keindahan seperti ini?

Dia menghela napas, berjongkok di samping ranjang, memangku dagu ke atas lutut, dan kembali menikmati pemandangan. Detak jantungnya lagi-lagi di luar batas kewajaran, tarikan napasnya mulai tidak teratur, hanya matanya yang bersuka ria, satu-satunya organ tubuhnya yang berada dalam kondisi maksimal. Yang lain sama sekali tidak bisa diandalkan.

Yoon-Hee berpikir tentang wanita yang akan secara resmi mendapat hak untuk memandangi pria ini setiap hari. Menyentuh pria ini sesuka hati kapan pun dia ingin. Mendengarkan suara pria ini, ditatap oleh pria ini. Mendapatkan senyumannya sesekali. Betapa beruntungnya wanita itu nanti. Wanita yang bahkan bisa menjadi ibu bagi anak secantik Eun-Bi, memeluknya, berbagi cerita dengannya. Pergi keluar bersama sebagai satu keluarga dan mendapat tatapan iri dari semua orang.

Sesuatu melintas di otaknya. Kenapa harus wanita lain? Kenapa bukan dia saja?

Jemari gadis itu melengkung, membentuk kepalan erat seiring dengan terciptanya keputusan paling tidak masuk akal yang pernah dia buat seumur hidupnya. Dia baru saja membulatkan tekad.

Bahwa Im Yoon-Hee… adalah wanita yang nantinya akan menjadi istri Lee Won dan ibu dari Lee Eun-Bi.

Merasa gemetar dengan pikiran absurdnya, gadis itu mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi kamera, memotret pria di depannya, kemudian mengirimkan pesan kepada empat anggota timnya dan empat orang sahabat yang sudah bersamanya sejak SMA. Di bawah foto itu dia menulis:

Pria ini… aku pasti akan menikahinya suatu hari nanti.

 

***

September 12, 2016

Yoon-Hee mengerutkan kening, melirik tidak yakin dari sudut matanya untuk memastikan. Ini penampilannya yang paling normal, lantas kenapa semua orang memandanginya seolah dia sedang memakai kostum badut yang mencolok dan menarik perhatian?

Tapi itulah yang tidak Yoon-Hee sadari. Sejak bekerja di ETHEREAL, tidak ada satu orang pun yang pernah melihatnya berpenampilan normal, yang berarti tidak seorang pun juga tahu penampilan aslinya yang sesungguhnya. Dan, saat akhirnya dia muncul di kantor tanpa rambut berwarna-warni cerah dan pakaian tabrak warna yang menjadi andalannya, semua orang terkejut karena tidak pernah menyangka bahwa ada fisik secantik itu yang selama ini tersembunyi di baliknya.

Yoon-Hee tidak memiliki tubuh seksi. Tubuhnya cenderung kurus kering, dengan pinggang kecil dan tangan yang sepertinya hanya tinggal tulang dibalut selapis kulit. Bukannya dia tidak suka makan; gadis itu malah punya selera makan yang sangat besar. Tubuhnya saja yang tidak bisa menggemuk sebanyak apa pun dia mengonsumsi kalori. Tapi tubuh itulah yang diinginkan kebanyakan gadis yang bermimpi menjadi model, terutama kakinya yang sangat jenjang, meski yang paling menarik perhatian dari fisiknya sebenarnya adalah bagian wajah.

Rambut gadis itu hari ini berwarna cokelat gelap, diikat membentuk cepol di atas puncak kepala, menyisakan poni yang jatuh menutupi kening. Sweter rajut tipisnya berwarna blush, yang tampak menyatu dengan kulit putihnya yang merona. Alisnya sewarna dengan mata dan rambutnya, tidak lagi putih seperti minggu sebelumnya—yang menjadi bagian terburuk dari keseluruhan penampilan absurdnya.

“Apa itu kau, Im Yoon-Hee?”

Yoon-Hee mendengar seruan dari belakang dan berbalik, tersenyum senang saat mendapati bahwa Red-lah yang memanggilnya.

Senyum itu memperparah dampak keseluruhan. Gadis itu tidak menyadari bahwa ada langkah-langkah yang terhenti, mata-mata yang tidak bisa berpaling, dan wajah-wajah yang terpana. Bukan hanya dari rekan-rekan sekantor yang mengenalnya, tapi juga dari beberapa pengunjung yang bermaksud mendatangi butik-butik di lantai satu. Senyum itu benar-benar cantik, detail yang paling memesona. Mencerahkan segalanya.

Red bahkan sampai mengerem langkah mendadak karena kaget. Dan dia adalah orang yang tidak mudah dibuat kaget.

“Uh oh,” gumamnya dengan mata terbelalak, kembali melanjutkan langkah, dan berhenti di depan rekan satu timnya itu. “Aku sudah menebak-nebak akan seperti apa penampilanmu hari ini setelah pesan mengejutkan itu dan kau yang tidak bisa dihubungi setelahnya. Kuakui, penampilanmu sangat mencengangkan.”

“Memangnya seaneh itu? Semua orang memperhatikanku dari tadi.”

“Aku bilang mencengangkan. Bukan aneh.”

“Apa itu pujian?”

“Ya, Im Yoon-Hee.” Red memutar bola matanya. “Kau sangat cantik sampai aku ingin mencakarmu.”

Yoon-Hee tertawa dan seorang pria di depan mereka yang sedang membawa berkas-berkas di lengan dari arah berlawanan tergagap dan kehilangan keseimbangan karena sibuk memelototi gadis itu.

“Jangan tertawa. Jangan tersenyum,” bisik Red. “Aku tidak tahu akan tiba hari di mana kau membuat semua orang kelabakan karena terpesona. Apa sebenarnya penampilan absurdmu itu untuk melindungimu dari kejaran para pria?”

“Kau sama absurdnya, tahu!”

Mereka memasuki lift dan Red menarik Yoon-Hee hingga mereka mendapat tempat di sudut belakang.

“Tunggu sampai yang lain melihatmu,” ujar Red. Senyum culas tersungging di bibirnya yang bersaput lipstik merah.

***

Jae-Yeong tidak berkata apa-apa karena dia sudah pernah melihat penampilan asli Yoon-Hee saat mereka bergabung di klub dansa kampus, meski wanita itu dengan bermurah hati mengacungkan kedua ibu jari sebagai bentuk kekaguman. Min-lah yang tidak baik-baik saja. Gadis pendek itu membuka mulut selebar-lebarnya—yang langsung dikatupkan saat Red dengan iseng menjadikannya sasaran lemparan penghapus. June bergabung kemudian, membuat kehebohan dengan berteriak dan berlari kencang saat masuk dalam ketergesaannya mencapai Yoon-Hee.

“Kau membuat satu kantor heboh!” serunya, lalu berhenti sebentar untuk memandangi Yoon-Hee dari atas ke bawah. “Sial, kau memang cantik ternyata.”

“Jadi, ini langkah pertama untuk memenangkan hati sang CEO?” Jae-Yeong menghampiri dari belakang, menjentikkan telunjuk ke kening Yoon-Hee yang langsung meringis.

“Berani-beraninya kau mengirim pesan seperti itu, tidak kembali ke kantor, dan mematikan ponsel sepanjang akhir minggu!” protes Min. “Aku mati penasaran ingin tahu bagaimana bisa kau bertemu Lee Won Taepyeonim di rumahnya. Setahuku, dia selalu datang ke kantor pukul 7.”

“Dia sakit dan aku merawatnya.” Yoon-Hee menyengir begitu lebar, melepaskan desahan dari sela bibir, dan tanpa sengaja terpekik kecil saat otaknya kembali memutar kejadian tiga hari lalu, membuatnya teringat pada ketampanan wajah itu dan menggila sekali lagi.

“Dia sudah sakit.” June menggeleng-geleng. “Psikisnya sudah tidak tertolong.”

“Lebih parah dari prediksiku. Dia resmi menjadi gila karena pesona CEO kita,” Red menyambung.

“Aku menyentuhnya dan menggantikan bajunya yang basah. Pasti aku satu-satunya orang yang pernah melihat perut kotak-kotaknya!” Gadis itu nyaris melayang saking bahagianya.

“Kenapa bukan foto itu saja yang kau kirim pada kami?” protes Red tak terima.

“Tidak. Pemandangan itu eksklusif untuk mataku.” Yoon-Hee mencibir. “Aku tidak akan membaginya pada siapa pun!”

“Jadi, hanya karena kau sudah melihat tubuhnya dan menyentuhnya, kau berpikir bahwa kau juga punya hak untuk menjadi istrinya?”

Gadis itu mengangguk khidmat. “Dan karena aku sudah bertemu anaknya dan anak itu menyukaiku,” dia menambahkan.

“Kau mulai delusional,” dengus June.

“Lalu, kenapa kau malah menghilang dan bukannya kembali ke kantor untuk pamer?” tanya Min bingung.

“Aku pulang. Dan tidur. Mengistirahatkan jantung dan paru-paruku. Otakku juga. Kalau aku tetap terjaga, otakku akan terus mengingatnya. Itu bukan hal yang baik untuk dilakukan.”

“Kupikir Red yang gila, ternyata mentalmulah yang sudah rusak parah.” Jae-Yeong menepuk-nepuk tengkuknya. “Astaga, mungkin pria seperti Lee Won Taepyeonim itu lebih baik tidak usah diciptakan saja. Wajahnya benar-benar tindak kriminal tingkat tinggi.”

Eonni, kau mau ke mana?” seru Yoon-Hee saat wanita itu berjalan menuju pintu.

“Ke bawah. Aku butuh kopi.”

Yoon-Hee terbatuk-batuk dalam hati. Memangnya Jae-Yeong pikir dia tidak tahu rencana busuknya? Ini Senin, hari inspeksi CEO mereka ke butik-butik di lantai satu.

Bergegas, gadis itu mengejar atasannya tersebut dan memeluk lengannya. “Aku ikut denganmu.”

Jae-Yeong melotot, jelas tidak rela ide hebatnya dicemari.

“Tidak. Kalau kau mau kopi, biar kubelikaan sekalian.”

“Mana mungkin aku membiarkan seniorku membelikanku kopi! Itu tidak sopan!” ucapnya manis. Setelah mereka keluar dari pintu, dia merendahkan suara. “Aku tahu rencanamu, Eonni.”

“Kau kan sudah puas melihatnya kemarin!” gerutu Jae-Yeong.

“Tapi aku belum melihatnya bergerak. Aku belum melihat matanya. Bagaimana caranya menatap? Tajam? Penuh intimidasi?”

“Menurutmu bagaimana? Tentu saja tatapannya bisa melelehkan apa saja.” Jae-Yeong menghela napas. “Terutama hati wanita,” dia menambahkan. “Dia membuat kakiku berubah menjadi agar-agar.”

“Memangnya dia pernah menatapmu?”

“Tidak,” sahut Jae-Yeong enteng. “Aku mana pernah berdiri sedekat itu dengannya.”

“Dan kau bilang aku delusional,” bisik Yoon-Hee meledek.

***

Jae-Yeong akhirnya benar-benar memutuskan membeli kopi di gerai Starbucks, jadi Yoon-Hee memilih untuk menunggu di luar. Lalu, sesuatu menarik perhatiannya. Dua kertas besar mencolok bertuliskan pengumuman kompetisi yang diadakan perusahaan yang tertempel di papan pengumuman tidak jauh dari sana.

            Merasa tertarik, Yoon-Hee mendekat untuk membaca lebih jelas. Satu kertas merinci syarat kompetisi untuk para karyawan, sedangkan kertas satu lagi untuk umum. Kompetisi merancang pakaian dengan tema bebas. Batas waktunya akhir Maret tahun depan. Masih enam bulan lagi.

Ini kesempatan besar baginya! Untuk benar-benar menciptakan sesuatu. Bukan berharap untuk menang, tapi untuk membuktikan bahwa dia bisa berkarya. Bahwa dia sungguh-sungguh bisa menghasilkan sesuatu dari mimpinya.

Merasakan euforia dari pemikirannya itu, gadis tersebut berbalik, tidak sabar ingin meminta pendapat Jae-Yeong, dan seketika menabrak sesuatu hingga dia terpental ke belakang. Nyaris yakin akan terempas ke lantai, dia refleks menutup mata rapat-rapat, setengah berharap kepalanya tidak terbanting keras. Tapi hantaman itu tidak terasa, bahkan setelah dia menunggu beberapa detik. Kemudian dia menyadari ujung-ujung jemari yang menekan pinggangnya, menariknya hingga dia kembali berdiri tegak.

Sentuhan itu membangunkan saraf-sarafnya. Dan jantungnya mulai berulah saat merasakan embusan napas di dekat telinganya. Kulitnya meremang di tempat-tempat yang bergesekan dengan tubuh penolongnya. Apa ini reaksi normal? Apakah tubuhnya memang memberikan reaksi sama pada pria mana pun? Apakah sebenarnya tidak ada yang istimewa dari apa yang dia rasakan terhadap Lee Won beberapa hari lalu dengan apa yang dia rasakan terhadap pria entah-siapa ini sekarang?

Dia masih belum membuka mata. Semua pikiran itu membuatnya bingung. Apa mungkin karena dia belum pernah bersama satu orang pria pun, jadi tubuhnya akhirnya ‘kelaparan’ dan memutuskan untuk bereaksi terhadap siapa saja?

Lengan itu masih melingkari pinggangnya. Namun, suara yang terdengar kemudianlah yang akhirnya membuatnya tersentak.

“Hati-hati.”

Hanya bisikan pelan, tapi suara itu membuat kakinya melemas. Suara yang berat dan dalam itu.

Lengan itu melepasnya, tapi lengan yang lain memegangi lengan bagian atasnya, memberi topangan, memastikan agar dia tetap seimbang.

“Kau kurus sekali, Im Yoon-Hee~ssi.”

Dia spontan membuka mata, langsung terbelalak melihat siapa yang kini sedang berhadapan dengannya, dan seketika itu juga tubuhnya kembali merosot ke lantai. Kakinya benar-benar berubah menjadi agar-agar, seperti yang Jae-Yeong bilang.

Lengan pria itu kembali berhasil menahannya dan kini dia menutup mata karena tidak tahan dengan rasa malu yang dia alami. Tapi otaknya tidak bisa menjauh dari pikiran bahwa dia sedang dirangkul oleh pria yang menurutnya paling tampan di alam semesta dan dia cemas akan mengalami gagal jantung di tempat. Ya Tuhan, ya Tuhan, ini pasti tidak nyata!

Tunggu! Tunggu! Pria itu tahu namanya?

Dia membuka mata lagi, mengerjap-ngerjap untuk membiasakan diri terhadap wajah tidak-masuk-akal itu. Tidak berhasil. Terlalu menyilaukan. Jadi, dengan cerdik dia memutuskan menatap ke bagian leher pria itu saja, kemudian mulai bertanya-tanya apakah suaranya cukup normal untuk digunakan berbicara.

“Kau… tahu namaku?” Sedikit mencicit, tapi dia sudah teramat malu, jadi ditambah sedikit hal memalukan lagi tidak akan ada bedanya.

“Aku tidak mungkin membiarkan seseorang memasuki rumahku tanpa tahu nama dan wajahnya, bukan?” Jawaban itu terdengar santai, diucapkan dengan ringan. “Sudah bisa berdiri?”

Yoon-Hee menaikkan sedikit tatapannya dan melihat seringaian tipis yang melekuk di ujung bibir pria tersebut.

Bukan hal mengherankan. Dengan wajah seperti itu, mustahil pria ini tidak tahu dampak pesona yang dimilikinya.

Yoon-Hee melangkah mundur. Kakinya sedikit gemetar, tapi dia mampu berdiri sendiri. Selama dia tidak menatap wajah itu langsung, dia pasti akan baik-baik saja.

Pria itu mengenakan kemeja biru navy yang diberikan Jae-Yeong dan kemeja itu benar-benar memberikan efek luar biasa. Kulit putih pria itu tampak bercahaya dan—tanpa bisa menahan diri, Yoon-Hee melirik—rambutnya yang disisir ke atas agar tidak menutupi kening membuat keseluruhan wajahnya bisa ditatap tanpa penghalang, dan ya Tuhan, wajah itu….

Dia lekas menunduk, menarik napas pendek-pendek, meremas tangannya yang gemetar dengan gugup. Konsentrasinya semakin buyar saat tiba-tiba pria itu membungkukkan tubuh hingga wajah mereka berhadapan, nyaris membuatnya terpekik kaget.

Terlalu dekat. Terlalu dekat.

“Terima kasih untuk ucapan selamat ulang tahunnya.” Pria itu tersenyum. Sangat tipis, jadi mungkin Yoon-Hee hanya membayangkannya. “Buburnya enak.”

Pria itu menegakkan tubuh, meremas bahunya singkat, kemudian berlalu pergi diikuti dua orang yang mungkin adalah asistennya.

Yoon-Hee memandangi punggung pria itu yang semakin menjauh, lalu terhuyung dan akhirnya benar-benar mendarat di lantai.

“Apa itu tadi? Apa itu tadi?” Jae-Yeong bergegas mendekat sambil merepet tidak jelas. “Aku bisa membayangkan rasanya. Aku yang melihat dari jauh saja nyaris pingsan. Minum ini!” Wanita itu menyodorkan gelas plastik berisi iced coffee ke mulut Yoon-Hee. “Astaga, dia itu benar-benar tidak punya hati!” komentarnya. “Bagaimana? Kau mau kuantar ke rumah sakit?”

Eonni… kau lihat, ‘kan?” Suara Yoon-Hee masih belum kembali normal. Dia masih mencicit seperti tadi.

Jae-Yeong mengangguk, menepuk-nepuk punggung gadis itu, prihatin akan kondisinya.

“Jadi… sekarang aku sudah berhak bermimpi untuk menjadi istrinya, ‘kan?”

Untuk sesaat Jae-Yeong terdiam, berusaha mencerna kalimat itu. Lalu, “AISH[17]! YA! Sia-sia saja aku mengkhawatirkanmu! Seharusnya aku tidak menawarkan rumah sakit, tapi rumah sakit jiwa! Kau! Dasar gila!”

***

ddb0002460e51830abb

15101758_715062665309326_3983308444479258624_n.jpg

14 thoughts on “SNEAK PEEK: MISS IRRESISTIBLE STYLIST

  1. sial. !!! mulut.q kaku karna senyum lebar.. argghh jinjja.. tpi kok lee won d sini jdi duda sih .. tkutnya dy tuh cinta mati sma istrinya. . haa dri pda kepo. aq tunggu ajha novelnya…

    Like

  2. Akhhhhh… Aku mau novelnya.. Gak sabar nunggu novelnya terbit.. Harus bersabar, hanya beberapa hari saja.. 😀😀
    Semangatin jj yoo.. Aku merasa kaya Yoon-Hee, siap² masuk rumah sakit jiwa.. 😆😆😆

    Like

  3. Ya Tuhaaaaaan!!! Ini kisah apa? Dibikin ketawa di awal kemudian terlarut dalam pesona si CEO. Aku gak tahu harus bilang apa selain nggak sabar ngebaca keseluruhan isi buku ini. 😍😍😍

    Sampai bertemu Yoon Hee dan Lee Won. 😘😘😘

    Like

  4. Wah. Aku baru nemu ini cerita,.. Dan ternyata ini potongan dari novel yang udah mau terbit y,.. Keren cerita.a,,, salut buat kakak yang udah bkin saya senyam-senyum sendiri,.. Untung baca.a d.kamar gk ada yg liat,.. 😎

    Like

  5. Di awal-awal aku ngerasa kaya inget drama she was pretty yg rambut ceweknya aneh bin ajaib. Trus nyampe tengah2 kaya inget drama you are my lady yg cowoknya udah punya anak/duda.

    Like

  6. Ya ampun… itu spoiler.nya ga nahan… udh bikin senyum2 ketawa nggak jelas 😍
    Penasaran pengen baca kelanjutannya…😭
    Jd pengen buru2 ke tokbuk buat beli novelnya.😘

    Like

Leave a comment